Ulap-Ulap Rarajahan Sruti Aksra Suci

  https://helaibuku.blogspot.com/ Om Swastystu Umat sedharma yang berbahagia. Pada kesempatan ini helaibuku petikkan beberapa contoh Ulap-ulap atau Rarajahan Sruti Aksara suci sebagai berikut: Dipetik dari buku Ulap-Ulap Sruti Aksara Suci karipta olih Jro Mangku Pulasari. Agar lebih jelasnya sahabat helaibuku bisa membeli bukunya untuk melengkapi koleksi perpustakaannya. Agar lebih mudah mengenali,sampul bukunya seperti di bawah ini:

Bahan Ajar Agama Hindu K13 (Kurikulum 2013) dan KTSP Untuk SD Kelas VI

helaibuku.blogspot.com/  Hai Sahabat Helai Buku, tak terasa kalian sudah kelas VI.  Tentunya semakin tinggi tingkatan kelasmu pastinya akan semakin giat belajarnya bukan? O,ya, di bawah ini Helai Buku petikkan Bahan Ajar Agama Hindu K13 (Kurikulum 2013) dan KTSP Untuk SD Kelas VI. Selamat belajar!

Kitab Bhagavad Gita

A. Mengenal Kitab Bhagavad Gita

Kitab Bhagavad Gita merupakan  bagian dari Veda Sruti. Bhagavad Gita melengkapi  empat Veda (Catur Veda) sebelumnya, sehingga  Bhagavad Gita adalah Veda yang kelima sehingga disebut dengan Pancama Veda.  Adapun keempat Veda atau Catur Veda yaitu: Rig Veda, Sama Veda, Yajur Veda, Atharwa Veda.

Kitab Bhagavad Gita ditulis dalam bahasa Sanskerta oleh Maharsi Vyasa. Bhagvad Gita artinya nyanyian kebahagiaan. Kitab bhagaavad Gita memuat wahyu Sang Hyang Widhi yang disampaikan oleh Sri Krisna kepada Arjuna menjelang perang Bharatayudha di Kuruksetra. Waktu itu Arjuna merasa bimbang dan ragu untuk berperang melawan saudara, paman,kakek dan gurunya. Pada saat itu Sri Krishna memberikan wejangan kepada Arjuna agar dapat melihat kebenarn sehingga dia dpt menuaikan tugas dan kewajibannya dengan baik.

B. Isi Kitab Bhagavad Gita

Kitab Bhagavad Gita terdiri dari 18 Bab. Berikut ini ringkasan isi Kitab Bhagavad  Gita sesuai Buku Bhagavad Gita Menurut Aslinya (2006), sebagai berikut.

1. Bab I Meninjau Tentara-Tentara di Medan Perang Kuruksetra (47 Sloka)

Barisan tentara-tentara kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan siap sedia bertempur. Arjuna kesatria yang gagah perkasa, menyaksikan sanak keluarga, guru-guru, dan kawan-kawannya dalam barisan tentara kedua belah pihak siap untuk bertempur dan mengorbankan nyawa. Rasa kenestapaan dan kasih sayang Arjuna tergugah sehingga kekuatannya menjadi lemah, pikirannya bingung, dan dia tidak dapat bertabah hati untuk bertempur.

2. Bab II Ringkasan Isi Bhagvad Gita (72 Sloka)

Arjuna menyerahkan diri sepenuhnya sebagai murid kepada Sri Krishna. Sri Krishna kemudian memulaai pelajaran-Nya kepada Arjuna dengan menjelaskan perbedaan pokok  antara badan jasmani dan sang roh. Badan jasmani bersifat sementara, sedaangkaan sang roh bersifat kekal. Sri Krisna menjelaskan proses perpindahan sang roh, sifat pengabdian kepada Yang Mahakuasa tanpa mementingkan diri sendiri dan ciri-ciri orang yang sudh insaaf akan dirinya.

3. Bab III Karma Yoga (43 Sloka)

Semua orang harus melakukan kegiatan di dunia material. Akan tetapi, perbuatan dapat mengikat diri seseorang pada dunia ini atau membebaskan dirinya dari dunia. Seseorang dapat dibebaskan dari hukum karma (perbuatan dan reaksi) dan mencapai pengetahuan rohani tentang sang diri dan Yang Mahakuasa dengan cara bertindak untuk memuaskan Yang Mahakuasa tanpa mementingkan diri sendiri.

4. Bab IV Pengetahuan Rohani (42 Sloka)

Pengetahuaan rohani tentang sang roh, Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara sang roh dan Tuhan Yang Maha Esa menyucikan dan membebaskan diri manusia. Pengetahuan seperti itu adalah hasil perbuatan bhakti tanpa mementingkan diri sendiri (Karma Yoga). Krishna menjelaskan sejarah Bhagavad Gita sejak zaman purbakala, tujuan dan makna Beliau sewaktu-waktu turun ke dunia material, serta pentingnya mendekati seorang guru, seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya.

5. Bab V Karma Yoga: Perbuatan dalam Kesadaran Krishna (29 Sloka)

Orang bijaksana yang sudah disucikan oleh api pengetahuan  rohani, secara lahiriah melakukan segala kegiatan, tetapi melepaskan ikatan terhadap hasil perbuatan dalam hatinya. Dengan cara demikian, orang bijaksana dapat mencapai kedamaian, ketidak terikatan, kesabaran, penglihatan rohani, dan kebahagiaan.

6. Bab VI Dhyana Yoga (47 Sloka)

Astangga Yoga, sejenis latihan meditasi lahiriah, mengendalikan pikiran dan indra-indra serta memusatkan perhatian kepada Paramatman (Roh Yang Utama, bentuk Tuhan yang bersemayam di dalam hati). Puncak latihan ini adalah Samadhi. Samadhi artinya sadaar sepenuhnya terhadap Yang Maha Kuasa.

7. Bab VII Pengetahuan Tentang Yang Mutlak (30 Sloka)

Sri Krishna adalah kebenaran yang paling utama, penyebab yang paling utama dan kekuatan yang memelihara segala sesuatu, baik yang material maupun rohani. Roh-roh yang sudah maju menyerahkan diri kepada Krishna dalam pengabdian suci bhakti, sedangkan roh yang tidak saleh menglihkan obyek-obyek sembahyang kepada yang lain.

8. Bab VIII Cara mencapai kepada Yang Mahakuasa (28 Sloka)

Seseorang dapat dapat mencapai tempat tinggal Krishna Yang Paling Utama di luar dunia material dengan cara ingat kepada Sri Krishna dalam bhakti semasa hidupnya, khususnya pada saat meninggal.

9. Bab IX Pengetahuan yang Paling Rahasia (34 Sloka)

Krishna adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tujuan tertinggi kegiatan sembahyang. Sang roh mempunyai hubungan yang kekal dengan Krishna melalui pengabdian suci bhakti yang bersifat rohani. Dengan menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat kembali kepada Krishna di alam rohani.

10. Bab X Kehebatan Tuhan Yang Mutlak (42 Sloka)

Segala fenomena ajaib yang memperlihatkan kekuatan, keindahan, sifat agung atau mulia, baik di dunia material maupun di dunia rohani, tidak lain dari perwujudan sebagian tenaga-tenaga dan kehebatan rohani Krishna. Sebagai sebab utama segala sebab serta sandaran dan hakikat segala sesuatu, Krishna Tuhan   Yang Maha Esa adalah tujuan sembahyang tertinggi bagi paara mahluk.

11. Bab XI Bentuk Semesta (55 Sloka)

Sri Krishna menganugerahkan pengelihatan rohani kepada Arjuna. Beliau memperlihatkan bentuk-Nya yang tidak terhingga dan mengagumkan sebagai alam semesta. Dengan cara demikian, Krishna membuktikan secara meyakinkan identitas-Nya sebagai  Yang Mahakuasa. Krishna menjelaskan bahwa benntuk-Nya sendiri yang serba tampan dan dekat dengan bentuk manusia adalah bentuk asli Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang dapat melihat bentuk ini hanya dengan bhakti yang murni.

12. Bab XII Pengabdian Suci Bhakti (20 Sloka)

Bhakti Yoga, yaitu pengabdian suci yang murni kepada Sri Krishna merupakan cara tertinggi dan paling manjur untuk mencapai cinta bhakti yang murni kepada Krishna. Tujuan tertinggi kehidupan rohani. Orang yang menempuh jalan tertinggi ini dapat  mengembangkan sifat-sifat suci.

13. Bab XIII Alam, keperibadian yang menikmati  dan kesadaran (34 Sloka)

Orang yang mengerti perbedaan antara badan dengan sang roh dan Roh Yang Utama yang melampaui badan dan roh akan mencapai pembebasan dari dunia material.

14. Bab XIV Tiga sifat alam material (27 Sloka)

Semua roh terkurung dalam badan dibawah pengendalian tiga sifat alam material, yaitu kebaikan (sattvam), nafsu (rajas) dan kebodohan (tamas). Sri Krishna menjelaskan arti sifat-sifat alam material tersebut, bagaimana sifat-sifat tersebut mempengaruhi diri kita, bagaimana cara melampaui sifat-sifat tersebut serta ciri-ciri orang yang sudah mencapai keadaan rohani (orang yang sudah lepas dari tiga sifat alam).

15. Bab XV Yoga berhubungan dengan Keperibadian Yang Paling Utama (20 Sloka)

Tujuan utama pengetahuaan Veda adalah melepaskan diri dari ikatan terhadap dunia material daan mengerti Krishna sebagai Keperibadian Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang mengerti identitas Krishna yang paling utama menyerahkan diri kepada Krishna dan menekuni pengabdian suci kepada Krishna.

16. Bab XVI Sifat Rohani dan sifat jahat (24 Sloka)

Orang yang memiliki sifat-sifat jahat daan hidup sesuka hatinya tanpa mengikuti peraaturan kitab suci, dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah dan diikat lebih lanjut secara material. Akan tetapi orang yang memiliki sifat-sift suci dan hidup secara teratur dengan mematuhi kekuasaan kitab suci, berangsur-angsur mencapai kesempurnaan rohani.  

17. Bab XVII Golongan-golongan Keyakinan (28 Sloka)

Ada tiga jenis keyakinan yang masing-masing berkembang dari salah satu diantara tiga sifat alam. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang keyakinannya bersifat nafsu dan kebodohan hanya membuahkan hasil material yang sifatnya sementara.  Akan tetapi perbuatan yang dilakukan dalam sifat kebaikan menurut kitab suci, menyucikan hati dan membawa seseorang sampai pada tingkat keyakinan murni terhadap Sri Krishna dan bhakti kepada Sri Krishna.

18. Bab XVIII Kesimpulan Kesempurnaan Pelepasan Ikatan (78 Sloka)

Sri Krishna menjelaskan arti pelepasan ikatan dan efek dari sifat-sifat alam terhadap kesadaran dan kegiatan manusia. Krishna menjelaskan keinsafan Brahman, kemuliaan Bhagavad Gita, dan kesimpulan Bhagavad Gita ; jalan kerohanian tertinggi berarti menyerahkan diri  sepenuhnya tanpa syarat dalam cinta bhakti  kepada Sri Krishna. Jalan ini membebaskan seseorang dri segala dosa membwa dirinya sampai pembebasan sepenuhnya dri kebodohan dan memungkinkan ia kembli ke tempat tinggal Rohani Sri Krisna yang kekal.

C. Makna Kitab Bhagavad Gita

Bhagavad Gita disabdakan oleh Tuhan dalam wujud Sri Krishna. Tujuannya adalah melepaskan manusia dari ikatan duniawi agar bisa bersatu dengan Tuhan.

Walaupun Atma di dalam tubuh manusia berasal dari Tuhan, tetapi pengaruh duniawi telah membuat Atma lupa akan jati dirinya. Oleh karenanya kitab Bhagavad Gita menjadi penuntun manusi untuk mencapai kebahagiaan kekal. Ajaran Bhagavad Gita memberi kesempatan berbhakti sesuai kemmpuan  dan kesadaran masing-masing secara tulus. Misalnya melalui Yoga, ilmu pengetahuan, bhakti, dan kerja. Sebagaimana terdapat dalam seloka 4.11 seperti berikut:

Ye yathā maṁ prapadyante,
Tā mstathai wabhajā my aham,
Mama wartmā ‘nuwartate,
Manuşyāh pārtha sarwaśah

Artinya:

Bagaimanapun jalan manusia mendekati-Ku aku terima sma, O Arjuna manusia mengikuti jalanku dalam segala jalan.

D. Ajaran-Ajaran dalam Kitb Bhagavad Gita

Ajaran-ajaran yang terkandung dalam Bhagavad Gita yaitu:

  • Ajaran Ketuhanan
  • Ajaran Susila
  • Ajaran Yajna
  • Ajaran Moksa

1. Ajaran tentang Ketuhanan dapat dilihat dalam Bhagavad Gita Bab XI Sloka 32 dan Sloka 33.

Bab XI Sloka 32 bunyinya:

Sri-Bhagavan Uvāca
Kālo ‘smi loka-kşaya-krt pravŗddho
Lokān samāhartum iha pravŗttaḥ
Rte ‘pi tvām na bhavisyanti sarve
Ye ‘vasthitāh pratyanikeşu yodhāh

Artinya:

Sri Bhagavan Bersabda 

Aku adalah Sang Kala, Sang Waktu yang datang dan berkembang tanpa batas, penghancur seluruh alam semesta, dan saat-saat ini aku hadir di sini dengan tujuan untuk menghancurkan semuanya.  Seluruh kesatria yang hadir di sini berada di pihak musuhmu, tanpa bertempur denganmu pun mereka tidak aka nada yang hidup lagi.

Sloka di atas menyatakan bahwa Tuhan sebagai Sang Waktu yang akan datang pada masanya. Ketika dharma (kebenaran) lenyap dan adharma (ketidakbenaran) merajarela, saat itulah Tuhan turun ke dunia dan menghancurkannya.  Setelah itu  Tuhan menciptakan kembali dunia ini. Seperti itulah yang akan terjadi berulang-ulang hingga datangnyaa zaman Kali Yuga. Zaman Kali Yuga yaitu zaman pada saat manusia lupa kepada Tuhan dan Veda. Manusia berperilaku tidak benar dan umur merekapun menjadi pendek.

Sloka tersebut di atas juga menjelaskan bahwa Kaurawa tetap akan tiada meskipun perang tidak terjadi. Itulah tujuan Tuhan datang ke dunia, yaitu menghancurkan  ketidak benaran.

Bab XI Sloka 33 berbunyi:

Tasmāt Tvam uttistha yasa labhasva
Jitvā śtrūn bhuñkṣva rājyaṁ samŗddham
Mayaivaite nihatāh pārvam eva
Nimitta-mātraṁ bhava savya-sāsin

Artinya:

Oleh karena itu bangkitlah untuk bertempur dan capailah kemuliaan, dan setelah mengalahkan musuh nikmatilah kerajaan yang sejahtera. Mereka semua ini jauh-juh  sebelumnya sudah aku binasakan, wahai Arjuna jadikanlah dirimu sebagai alat di taangan-Ku.

Sloka tersebut memuat Sri Krishna memberikan semangat kepada Arjuna untuk bangkit dan bertempur demi kemenangan dan kesejahteraan. Tuhan telah merencanakan bahwa pihak musuh akan kalah dan binasa. Tuhan menjaadikan Arjuna sebagai alat untuk menghancurkan kejahatan di dunia. Akan tetapi terlebih dahulu Tuhan menganugerahkan ajaran Veda yang begitu luas dan tanpa batas.

2. Ajaran Tentang Susila

Ajaran susila terdapat pada kitab Bhagavad Gita Bab XVII Sloka 14,15 dan 16.

Bab XVII Sloka 14 berbunyi:

Devadvijaguruprājna
Pūjanaṁ Śaucam ārjavm
Brahmacaryam ahiṁsa ca
Śariram tapa ucyate

Artinya:

Melakukan pemujaan sepantasnya kepada para Dewa, para Brahmana, guru spiritual (bapak, ibu), menjaga kebersihan, kesederhanaan dan tidak melakukan kekerasan, semua ini dikatakan sebagai pertapaan badn.

Bab XVII Sloka 15 berbunyi:

Anudvegakaram vākyam
Satyaṁ priyahitaṁ cay at
Svādhyayābhyasanaṁ cai’va
Vaṁṁayaṁ tapa ucyate

Artinya:

Kata-kat yang tidak menyebabkan perasaan orang lain terganggu, jujur, menyenangkan dan mengandung kebaikan serta kata-kata yang dipergunakan untuk belajar serta mempraktikkan pembacaan kitab suci Veda, semua itu dikatakan sebagai pertapaan kata.

Bab XVII Sloka 16 berbunyi:

Manahprsādah saumyatvaṁ
Maunam ātma vinigrahah
Bhāva saṁśuddhir ity etat
Tapa mānasam ucyate

Artinya:

Pikiran yang puas dalam segala keadaan , kesadaran yang menyejukkan, suka merenung, suka mengendalikan pikiran, berusaha sepenuhnya menyucikan pikiran, semua itu dikatakan sebagai pertapan pikiran.

Ketigaa sloka di atas menguraikan tentang ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu: Manacika (berpikir yang baik), Wacika (berkata yang baik), Kayika (bertingkah laku yang baik).  Tri Kaya Parisudha dapat dicapai melalui “Karma Patha” (pengendalian diri). Pengendalian diri  dalam “manacika” misalnya tidak menginginkan sesuatu yang tidak satvika, tidak berpikir buruk tentang orang lain, serta tidak mengingkari hukum Karmaphala. Pengendalian diri dalam “wacika” misalnya tidak berkata-kata kasar, tidak memaki orang lain, tidak memfitnah dan tidak mengingkari janji.  Pengendalian diri dalam “Kayika”  misalnya tidak semena-mena terhadap mahluk lain, tidak menyiksa atau menyakiti, tidak membunuh dan tidak berbuat curang.  Tuhan menganugerahkan akal kepada kita agar kita mampu mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatan kita, karena itulah kelebihan manusia  daripada mahluk lainnya.

3. Ajaran Tentang Yajna

Kitab Bhagavad Gita Bab III Sloka 9 berbunyi:

Yajṅārthāt karmaaņo ‘nyatra
Loko’yam karmabandhanah
Tadarthaṁ karma kaunteya
Muktasaṅgaḥ samācara

Artinya:

Lakukanlah perbuatan-perbuatan sebagai persembahan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika tidak, perbuatan-perbuatan tersebut akan mengakibatkan ikatan karma di dunia ini. Oleh karena itu, wahai Arjuna, lakukanlah segala perbuatan sebagai persembahan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka engkau akan dibebaskan dari segala ikatan karma.

Sloka tersebut mengutarakan bahwa kita wajib melakukan perbuatan yang dapat menjadi persembahan  suci kepada Tuhan. Persembahan yang dimaksud yaitu yajna suci yang tulus iklas tanpaa pamrih. Jika kita tidak mengharafkan imbalan dari suatu perbuatan, kita akan terbebas dari ikatan duniawi. Sebaliknya jika kita menghaarafkaan imbalan, kita tidak akan lepas dari ikatan duniawi.

4. Ajaran Tentang Moksa

Tentang moksaa terdapat dalam kitab Bhagavad Gita Bab XVIII Sloka 51, 52, dan 53

Bab XVIII Sloka 51 berbunyi:

Buddhyā visuddhayā yukto
Dhŗtyā tmanam niyamya ca
Śabdādin vişayāṁas tyaktvā
Rāgadvesau vyudasya ca

Artinya:

Dilengkapi dengan pengetahuan suci, teguh mengendalikan jiwa, menghindari suara dan objek panca indriya serta menjauhi segala yang dicintai dan dibenci.

Bab XVIII Sloka 52 berbunyi:

Viviktasavi laghvāśi
Yatavākkāyamānasa
Dhyānayogaparo nityaṁ
Vairāgyaṁ samupāśritah

Artinya:

Berdiam di tempat suci, maka hanya sekadarnya perkataan, bdn jsmani dan pikiran terawasi, selalu bermeditasi dan berkosentrasi, serta bernaung di bawah kedamaian hati.

Bab XVIII Sloka 53 berbunyi:

Ahaṁkāraṁ blaṁ darpam
Kāmaṁ krodhaṁ parigraham
Vimucya nirmamaḥ çarto
Brahmabhū yāya kalpate

Artinya:

Membuang jauh-jauh egoism, kekerasan, keangkuhan nafsu, amarah, dan haarta kekayaan, suka bersosialisasi dan memiliki ketenangan pikiranlah yang patut menjadi satu dengan Brahman.

Sloka-sloka tersebut di atas menjelaskan bahwa kerja harus dilaksanakan. Kerja dilakukan tanpa terikat oleh hasilnya. Artinya dalam melakukan suatu pekerjaan, seseorang harus bebas dari ikatan pekerjaan tersebut. Ia juga harus bebas dari keinginan dan tidak tergerak oleh keberhasilan atau kegagalan. Selain itu ia harus teguh mengendalikan diri bebas dari nafsu, bermeditasi dan tidak berbuat curang. Ia tidak melakukan kekerasan dan wjib menyempurnakn pikiran. Demikian ia pantas menyatu dengan Tuhan.

Setelah menyempurnakan jiwa dan menyatu dengan Tuhan,  ia menganggap semua mahluk hidup itu sama. Ia pun mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Setelh berlindung kepada Tuhan, ia mencapai keabadian dan tidak akan mengalami kehancuran.

2. Panca Sradha

A.  Mengenal Panca Sradha

Agama Hindu pertama kali berkembang di sekitar lembah sungai Sindhu. Agama Hindu merupakan agama yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi/Tuhan melalui para Maha Rsi. Agama Hindu dikenal sebagai agama Wahyu yang dikenal sebagai Sanatana Dharma artinya kebenaran yang abadi. Agama Hindu memiliki tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup (Jagadhita) dan kebahagiaan rohani (Moksa).  “Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma”. Agama Hindu juga memiliki tiga kerangka yang  disebut Tri Kerangka Agama Hindu. Adapun ketiga kerangka tersebut adalah :

  1. Tattwa yaitu pengetahuan atau filsafat Agama Hindu
  2. Susila yaitu perilaku baik atau Etika Agama Hindu
  3. Acara yaitu Upacara Yajna Agama Hindu

Ketiga kerangka dasar agama Hindu ini merupakan tiga serangkai artinya ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Ketiga kerangka dasar tersebut harus wajib dilaksanakan Umat Hindu untuk mencapai kebahagiaan.

Kenapa ketiga kerangka dasar ini sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi,misalnya :              

a. Jika kita hanya mempelajari atau mengetahui filsafat agama saja  tanpa mengamalkan ajaran susila dan upacara tidaklah sempurna kehidupan beragama kita.

b. Demikian juga sebaliknya Jika kita hanya melaksanakan upacara saja tanpa filsafat dan etika  tentulah upacara itu akan bermakna atau  sia-sia  sehingga tidaklah sempurna kehidupan beragama kita.

Ketiga kerangka dasar itu ibaratnya sebuah telur

  • Kuningnya adalah Tattwa atau filsfat Agama Hindu
  • Putihnya adalah Susila atau etika Agaama Hindu
  • Kulitnya adalah acara atau ritual  Yajna Agama Hindu

Demikianlah telur merupakan satu kesatuan yang utuh antara kuning, putih, dan kulitnya harus baik, jika salah satu dari ketiganya ada yang rusak maka akan mempengaruhi pula bagian yang lainnya sehingga telur itu menjadi tidak sempurna. TujuanAgama Hindu akan dapat dicapai dengan mengamalkan Ketiga Kerangka Dasar Agama Hindu tersebut. Adapun tatwa atau filsafat Agama Hindu meliputi lima keyakinan yang disebut dengan Panca Sradha

Panca Sradha terdiri dari dua kata yaitu: 

Panca artinya 5 (lima)

Sradha artina keyakinan atau Kepercayaan.

Jadi Panca Sradha artinya lima kepercayaan atau keyakinan dalam Agama Hindu.

B. Bagian-bagian Panca Sradha

1. Percaya dengan adanya Brahman (Sang Hyang Widhi)
2. Percaya dengan adanya Atma (Asas hidup)
3. Percaya dengan adanya Karmapala (Hukum sebab akibat)
4. Percaya dengan adanya Samsara atau Punarbhava  (Kelaahiran yang berulang-ulang)
5. Percaya dengan adanya Moksa (pelepasan)

Arti masing-masing bagian Panca Sradha yaitu :

1. Brahman yaitu Sang Hyang Widhi yang menciptakan alam  beserta isinya. Beliau Maha  Kekal, Maha Tahu, Maha Adil, bersifat gaib, ada di mana-mana dan Maha Sempurna.

2. Atma adalah percikan kecil Paramātma (Sang Hyang Widhi) yang menghidupi setiap mahluk, baik  tumbuhan, binatang maupun manusia.

3. Karma phala adalah hukum sebab akibat, bahwa setiap perbuatan akan menyebabkan suatu akibat/hasil.

4. Punarbhawa yang sering disebut Samsara yaitu penjelmaan yang berulang-ulang. Atau lahir kembali setelah mengalami kematian.

5. Moksa berarti bebasnya Atma dari segala ikatan, sehingga dapat bersatu kepada Sang Hyang Widhi sebagai pencipta (bersatunya Atman dengan Brahman )

a. Mengenal Widhi (Brahman) Sradha

Tujuan Agama Hindu adalah untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan rohani. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan sembah bhakti kepada Sang Hyang Widhi. Untuk memantapkan rasa bhakti kita kepada Sang Hyang Widhi, kita mesti meyakini-Nya dengan sepenuh hati. Keyakinan terhadap  Tuhan disebut Widhi Sradha atau Brahman Sradha. Hal ini tercantum dalam kitab suci  Yajur Veda XIX, 30, sebagai berikut.

Vratena dikşāmāpnoti diksayā’pnoti
Dakşinām dakşinā śraddhāmāpnoti
śraddhayā satyamāpyate

Artinya:

Dia mencapai kepercayaan
Dengan kepercayaan
Datang pengetahuan kebenaran

Menumbuhkan keyakinan terhadap Tuhan/Brahman dilakukan dengn banyak cara, misalny dengan Tri Pramana. Tri Pramana berasal dari kata “Tri” artinya tiga dan “Pramana” artinya jalan atau cara. Jadi Tri Pramana berarti tiga cara untuk memperkuat keyakinan terhadap Tuhan/Sang Hyang Widhi (Brahman).Ketiga cara tersebut yaitu: Agama Pramana, Anumana Pramana dan Praktyaksa Pramana.

1. Agama Pramana

Agama Pramana adalah keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi melalui cerita atau ucapan orang suci atau orang yang dapat dipercaya seperti para Maharsi. Dalam hal ini keyakinan itu tumbuh berdasarkan kesaksian yang dinyatkan dalam Veda.

Veda adalah wahyu Sang Hyang Widhi. Kesaksiaan Veda sempurna, tetapi kesaksian manusia tidak demikian. Kesaksian manusia dianggap benar jika orang yang menyaksikannya dapat dipercaya, seperti Maharsi. Adapun kesaksian tersebut dapat kita jumpai dari beberapa kutipan berikut:

a. Kitab Brahma Sutra 1.1.2 menyebutkan: “Janmadhyasya yatah,” artinya Tuhan ialah dari mana mula atau asal semua ini.

b. Kitab Brahma Sutra 1.1.3 menyebutkan: “Sastroyonitwat,” artinya hanya kitab suci cara yang terbaik untuk mengenal Tuhan.

c. Chandogya Upanisad III.14.1 menyebutkan: “Sarvam idam khalu Brahman  artinya segala yang ada ini tidak lain dari Tuhan.

d. Chandogya Upanisad menyebutkan: “Ekam Eva Advityam Brhman,” artinya Sang Hyang Widhi hanya satu tidak ada duanya.

e. Narayan Upanisad 2 (Tri sandya bait II) menyebutkan: “Eko Narayanad Na Dvityo’sti Kascit,” artinya hanya ada satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.

f. Rig Veda menyebutkan: “Ekam Sat Viprah Bahuda vadanti,” artinya Sang Hyang Widhi hanya satu namun para arif bijaksana menyebutnya dengan banyak nama.

g. Kitab Sutasoma menyebutkan: “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa,” artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada Dharma yang kedua.

h. Kitab Bhagavad Gita, X.8 berbunyi:

Ahaṁ sarvasya prabhavo
Mattaḥ sarvaṁ pravartate
Iti matvā bhayante māṁ
Bhudā bhāvasamamvițāḥ

Artinya:

Aku adalah asal dari semua
Dari aku mahluk muncul
Mengetahui ini orang bijaksana menyembah aku
Dengan penuh rasa penyatuan diri

Berdasarkan kutipan di atas bahwa sesungguhnya Sang Hyang Widhi ada dan menjadi asal mula segala sesuatu.

Sang Hyang Widhi memiliki banyak nama. Nama-nama tersebut memiliki fungsi dan swabawanya masing-masing. Nama-nama Sang Hyang Widhi antara lain sebagai berikut:

a. Sang Hyang Siwa yaitu nama Tuhan sebagai Maha pelindung dan termulia.

b. Sang Hyang Maha Dewa artinya Dewa tertinggi.

c. Sang Hyang Tunggal artinya Hyang Widhi Yang Maha Esa, Maha Tunggal, tidak ada duanya dan tidak terbatas.

d. Sang Hyang Guru artinya Hyang Widhi sebagai Guru Besar atau Bapak Besar seluruh alam semesta. Alam dan segala isinya semua merupakan murid atau sisiya dari Hyang Widhi.

e. Sang Hyang Wenang atau Sang Hyang Tuduh artinya Hyang Widhi yang memegang wewenang atau kekutana yang mutlak dalam bentuk susunan dan peraturan lam yang juga dianggap memegang untung malang nasib makhluk terutama manusia sesuai dengan Subha maupun Asubha Karmanya.

f. Sang Hyang Sangkan Paran artinya Hyang Widhi menjadi asal mula dan tujuan akhir atau kembalinya seluruh alam.

g. Sang Hyang Jagatnatha/Jagat Karana/Praja Patya artinya Hyang Widhi menjadi raja seluruh alam dengan isinya termasuk makhluk umatnya.

h. Sang Hyang Darma artinya Hyang Widhi yang bersifat dan berkeadaan benar sejati.

i. Sang Hyang Parama Siwa/Parama Siwa/Parama Wisesa artinya Sang Hyang Widhi yang Maha Besar, Maha Kuasa dan Maha Mulia.

j. Sang Hyang Adi Bhuda artinya Hyang widhi Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

k. Sang Hyang Paramatma artinya Hyang Widhi sebagai sumber dari Atma yang menjiwai alam semesta.

l. Sang Hyang Tri Murti/Tri Wisesa artinya Hyang Widhi sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pelebur.

Sebutan Sang  Hyang Widhi sebagai Tri Murti dalam  Tri Kona:

Brahma bertugas menciptakan (Utpati) disimbolkan dengan Aksara A (Ang).

Wisnu bertugas memelihara/pelindung (Sthiti) disimbolkan dengan Aksara U (Ung)

Siwa bertugas melebur (Pralina) disimbolkan dengan aksara M (Mang)

Sebutan Sang Hyang Widhi sebagai Panca Dewata

  1. Iswara : Menguasai arah Timur
  2. Brahma : Menguasai arah Selatan
  3. Mahadewa : Menguasai arah Barat
  4. Wisnu : Menguasai arah Utara
  5. Siwa : Menguasai arah Tengah

Sang Hyang Wihi diberi banyak nama sesuai dengan fungsi dan swabhawanya masing-masing Jadi Hyang Widhi sesungguhnya adalah satu atau tunggal tetapi memiliki banyak nama.

2. Anumana  Pramana

Anumana Pramana artinya keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi dengan cara membuat kesimpulan berdasarkan perhitungan yang logis. Sebagai contoh:

a. Berbagai benda yang kita jumpai sehari-hari misalnya: kursi, meja, tas, sepatu dan sebagainya, tidak muncul begitu saja. Semua itu ada pembuatnya: kursi dan meja dibuat oleh tukang kayu, tas dan sepatu dibuat oleh tukang jarit pakaian, jadi semua itu adalah buatan manusia.

Bumi, matahari, bintang-bintang, planet-planet dan alam semesta beserta isinya termasuk maanusia,hewan dan tumbuh-tumbuhan juga tidak muncul dengan sendirinya, semua pasti ada yang menciptakannya, dan penciptanya  adalah Sang Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah asal mula dari segala yang ada.

b. Seekor kupu-kupu mencari makanannya berupa madu di setangkai bunga. Pada saat menghisap madu, benang sari bunga jantan yang melekat di kakinya menempel di putik bunga betina. Proses penyerbukan atau perkawinan bungapun terjadi. Begitu juga dengan benda-benda angkasa yang tak terhitung jumlahnya tidak saling bertabrakan. Hal itu membuat kita kagum atas kebesaran Sang Hyang Widhi sebagai pencipta dan pengatur alam semesta.

c. Bila kita melihat asap yang mengepul disuatu tempat, kita dapat menyimpulkan bahwa di sana ada api. Kesimpulan itu dinyatakan dengan ungkapan “Yatra Yatra Dhumah, Tatra Tatra Wahnih” artinya dimana ada asap di sana pasti ada api. Sama halnya dengan Sang Hyang Widhi/Tuhan. Walaupun belum mampu melihatnya secara langsung namun kita dapat meyakini keberadan-Nya melalui berbagai gejala dan tanda-tanda alam.

3. Praktyaksa Pramana

Praktyaksa Pramana artinya keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi/Tuhan melalui pengalaman atau pengamatan langsung. Orang yang dapat merasakan keberadaan Tuhan akan dilimpahkan ajaran suci untuk membimbing umat manusia. Akan tetapi orang tersebut harus memiliki kesucian rohani. Hal itu termuat dalam sloka Arjuna Wiwaha  yang menyatakan bahwa dengan kesucian batin seseorang dapat melihat perwujudan gaib Tuhan.

b. Memahami Widhi (Brahman) Sradha Melalui Cerita

Narasinga

Tersebutlah seorang raja raksasa (asura) yang bernama Hiranyakasipu, ia membenci Dewa Wisnu. Hal itu dikarenakan salah satu Avatara Dewa Wisnu yaitu “Varaha Avatara”  telah membunuh adiknya. Sejak itu ia sangat membenci Dewa Wisnu dan melarang rakyatnya untuk memuja Dewa Wisnu.

Pada suatu hari Hiranyakasipu ingin meningkatkan kesaktiannya. Ia bertapa untuk memohon anugerah dari Dewa Brahma. Permohonannya dikabulkan dan ia memperoleh kesaktiaan dari  Dewa Brahma,”tidak dapat dibunuh oleh hewan, manusia daan Dewa. Tidak dapat dibunuh pada saat pagi, siang dan malam. Tidak dapat dibunuh di darat, air dan udara. Tidak dapat dibunuh di dalam dan luar rumah. Tidak dapat dibunuh dengan berbagai jenis senjata.”

Ketika Hiranyakasipu sedang bertapa pada saat itu pula Dewa Indra beserta pasukan Dewa menyerbu kerajaan Hiranyakasipu.  Istri Hiranyakasipu yang bernama Lilawati dalam keadaan hamil. Lilawati diselamatkan oleh Rsi Narada. Kemudian Lilawati melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Prahlada. Prahlada dididik oleh Rsi Narada sehingga ia menjadi anak yang budiman dan menjadi pemuja Dewa Wisnu.

Hiranyakasipu menjadi sangat marah ketika ia tahu istrinya dilindungi oleh para Dewa, ia semakin membenci Dewa Wisnu juga Prahlada. Dia berusaha untuk membunuh Prahlada akan tetapi usahanya selalu gagal karena Prahlada dilindungi oleh kekuatan gaib yang berasal dari Dewa Wisnu. Karena usahanya untuk membunuh Prahlada selalu gagal, ia semakin jengkel dan menangtang Prahlada untuk menunjukkan dan membuktikan keberadaan Dewa Wisnu.

Dengan rasa hormat Prahlada menjawab bahwa Dewa Wisnu ada dimana-mana dan Beliau akan muncul di tempat itu.

Mendengar jawaban seperti itu, Hiranyakasipu sangat marah, ia mengamuk, lalu menghancurkan pilar istananya. Tiba-tiba Dewa Wisnu muncul dari dalam pilar yang hancur tersebut dalam wujud Narasinga yaitu manusia berkepala singa dan bertubuh tinggi besar.

Kehadiran Dewa Wisnu dalam wujud Narasinga membuat kesaktian Hiranyakasipu tidak berlaku. Narasinga menerkam Hiranyakasipu dalam pangkuannya mencabik-cabik Hiranyaksipu dengan kuku-kuku dan taringnya yang tajam. Akhirnya Hiranyakasipu pun tewas di pangkuan Narasinga saat senja hari di gerbang istana Hinyakasipu.

2. Keyakinan Terhadap Atma (Atma Sradha)

a.   Mengenal Atma Sradha

1. Pengertian Atma

Atma berasal dari kata “An” yang artinya bernafas. Setiap mahluk yang bernafas memiliki Atma. Atma disebutkan dalam kitab Bhagavad Gita X.20 sebagai berikut:

Aham ātmā gudākeśa
Sarvabhūtaśyasthitaḥ
Aham ādiś ca madhyaṁ ca
Bhūtānām anta eva ca

Artinya:

O, Arjuna aku adalah atma, menetap dalam hati semua mahluk, aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir daripada semua mahluk.

Dalam kitab Upanisad disebutkan “Brahman Atman Aikyam,” artinya Brahman dan Atman itu adalah tunggal. Jadi Atman berasal dari Brahman/Tuhan. Atman merupakan terkecil dari Brahman/Tuhan, yang berada dalam setiap tubuh mahluk hidup. Atman yang menghidupi manusia disebut “Jiwatman”, Atma yang menghidupi hewan disebut. Janggama dan Atma yang menghidupi tumbuhan disebut Sthawara. Brahman/Sang Hyang Widhi sebagai sumber Atman disebut Paramatman. Sedangkan kedudukan Sang Hyang Widhi sebagai intisari alam semesta disebut Adyatman.

2. Fungsi Atma

Atma mempunyai fungsi sebagai berikut:

a.Sebagai sumber hidup citta dan sthula sariranya mahluk. Citta adalah alam pikiran, yang meliputi: pikiran atau akal, perasaan, kemauan alat indra, dan intuisi. Adapun Sthula Sarira adalah badan wadag, seperti daging, tulang, otot, sumsum dan otak.

b.bertanggung jawab terhadap Subha dan Asubha Karma (baik-buruknya perbuatan) mahluk yang bersangkutan.

c.Menjadi tenaga kehidupan Suksma Sariranya mahluk bersangkutan.

3. Sifat-Sifat Atma

Sifat-sifat Atma disebutkan dalam  Bhagawad Gita bab II sloka 24 dan 25 sebagai berikut: 

Acchedyo ’yam adāhyo ‘yam akledyo ‘śoşya eva ca
Nityah sarva-gatah sthānur acalo ‘yam sanātanah.

Terjemahannya:

Tak terpisahkan Ia. Tak terbakarkan Ia. Tak terbasahkan dan terkeringkan Ia. Ia abadi dan hadir di mana saja. Ia selalu konstan dan tak tergoyahkan. Ia hadir semenjak masa yang amat silam, dan selalu sama selama-lamanya.

Avyakto ‘yam acintyo ‘yam avikāaryo ‘yam ucyate
Tasmād evam viditvainam nānuśsocitum arhasi.

Terjemahannya:

Tak terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat diubah-ubah, begitulah Ia disebut. Setelah mengenal-Nya seperti itu, seharusnya engkau (Arjuna) tak perlu lagi merisaukan dirimu.

Berdasarkan kedua sloka di atas, adapun sifat-sifat Atma, yaitu:

  • Acchedyaḥ artinya tidak dapat dipatahkan, tidak dapat dipotong, tidak dapat dilukai.
  • Adāhyaḥ artinya tidak dapat terbakar.
  • Akledyaḥ artinya tidak dapat dilarutkan atau tidak dapat dibasahi.
  • Aśoṣyaḥ artinya tidak dapat dikeringkan
  • Nityaḥ artinya berada untuk selamanya atau kekal abadi.
  • Sarvagataḥ artinya berada dimana-mana.
  • Sthānuḥ artinya tidak berpindah-pindah.
  • Acalaḥ artinya tidak dapat digerakkan.
  • Sanātanaḥ artinya selalu sama untuk selamanya.
  • Avyaktaḥ artinya tidak dapat dilihat, tidak berwujud, atau tidak dilahirkan.
  • Acintyaḥ artinya tidak terpikirkan atau tidak dapat dimengerti.
  • Avikāraḥ artinya tidak dapat berubah.

b. Memahami Atma Sradha Melalui Cerita

Bhima Swarga

Pada suatu malam Atma Pandu dan Dewi Madri mendatangi Dewi Kunti Dalam Mimpi. Mereka meminta tolong agar dibebaskan dari neraka. Setelah Dewi Kunti terjaga dari tidurnya, ia menyampaikan mimpinya kepada para Pandawa. Mereka kemudian berunding dan menyepakati untuk mengutus Bhima pergi ke Swargaloka.

Pada suatu malam saat bulan purnama, dan dalam suatu prosesi yang hening, Dewi Kunti dan keempat saudara Bhima melepas kepergian Bhima menuju ke Swargaloka. Dalam perjalanan menuju Swargaloka Bhima harus melewati ‘Marga Sanga”  (Sembilan persimpangan jalan).  Dari Sembilan jalan tersebut, hanya empat jalan yang dapat menuju ke Swargaloka.

Singkat cerita tibalah Bhima di “Tegal Panangsaran” (ladang kesengsaraan yang maha luas). Tempat itu merupakan tempat  penyiksaan para Atma/roh  yang menunggu giliran untuk menghadap Bhatara Yama. Bhatara Yama akan menentukan para Atma harus masuk Surga atau Neraka. Dalam penantian itu para Atma/roh menerima hukuman sesuai karmanya. Ada yang disebut “Atma lara” (Atma sengsara) dan Atma drwaka (Atma yang serakah). Selain itu juga ada “Atma sangsaya” (Atma yang pada waktu hidupnya senantiasa curiga), “Atma babotoh” (Atma penjudi) dan Atma-atma lainnya. Bhima menyaksikan hukuman yang diberikan kepada para Atma atas kesalahan atau dosa yang dilakukan semasa hidupnya, itu menjadi pengalaman batin bagi Bhima.

Setelah Bhima menyaksikan pemberian hukuman di Tegal Penangsaran kemudian ia melihat “Kawah Gohmuka” (kwali besar dengan minyakpanas dan api yang menyala-nyala di bawahnya ) dimana ia dapat melihat Pandu dan Dewi Madri di dalamnya. Secepat kilat Bhima membalikkan Kawah Gohmuka untuk menyelaamatkan Pandu dan Dewi Madri. Selanjutnya Bhima mencari “Tirta Amerta” untuk membebaskan doya yang membelenggu kedua orang tuanya. Setelah diperciki Tirta Amerta, Pandu dan Dewi Madri berhasil memperoleh kebahagiaan di Surga.

3. Keyakinan Terhadaap Karmaphala (Karmaphala Sradha)

a. Mengenal Karmaphala Sradha

Karmaphala berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Karma dan Phala. Kata Karma menurut Kamus Kecil Sanskerta-Indonesia berarti perbuatan atau pekerjaan, sedangkan kata Phala artinya buah, biji buah, hasil, akibat, upah, ganjaran atau pahala. Jadi Karmaphala artinya hasil dari segala perbuatan dan kegiatan yang kita lakukan. Atau boleh dikatakan hasil dari perbuatan seseorang.

Perbuatan dibedakan menjadi perbuatan baik dan perbuatan buruk. Perbuatan baik disebut “Subha Karma” sedangkan perbuatan buruk disebut “Asubha Karma”. Setiap perbuatan yang kita lakukan baik atau buruk, sadar atau tidak sadar akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau phala, langsung maupun tidak langsung phala itu pasti akan datang.

Setiap karma baik yang kita perbuat atau lakukan akan menyebabkan kita mendapatkan kebahagiaan yang dapat mengantarkan kita masuk sorga demikian juga sebaliknya jika karma buruk yang kita perbuat pasti akan menyebabkan kesengsaraan, tentunya akan menyebabkan masuk neraka.

Dalam sastra agama disebutkan ”Ala ulah ala tinemu, ayu kinardi ayu pinanggih” artinya buruk yang diperbuat buruk pula hasilnya,baik yang dikerjakan baik pula yang diperoleh.

Karmaphala dapat dibagi menjadi 3 bagian  yaitu :

a. Sañcita Karmaphala yaitu Perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan pada kehidupan kita sekarang . Perbuatan dikehidupan sebelumnya tetapi hasilnya baru dapat dinikmati pada kehidupan sekarang.

b. Prārabda Karmaphala yaitu Perbuatan kita pada kehidupan sekarang tanpa ada sisanya dinikmati pada kehidupan sekarang . Artinya dikehidupan sekarang berbuat hasilnya dinikmati dalam kehidupan sekarang.

c. Kriyamāņa Karmaphala Yaitu perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat, tetapi akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang dan diterima pada kehidupan yang akan datang . Artinya perbuatan dikehidupan sekarang akan tetapi hasilnya baru dapat dinikmati pada kehidupan yang akan datang,bisa juga diterima oleh anak cucu kita.

Oleh Karena itu ingatlah bahwa setiap perbuatan memiliki pahala masing-masing. Perbuatan dan pahala merupakan hukum sebab akibat yang tak terhindarkan sehingga disebut hukum Karmaphala. Perbuatan yang baik menyebabkan masuk Surga, sedangkan perbuatan yang buruk menyebabkan Atma masuk Neraka. Sebab segala perbuatan manusia sudah dicatat oleh Sang Hyang Suratma yang bila manusia sudah meninggal maka catatan itu sebagai dasar Sang Hyang Yamadipati mengadili Sang Atma. Bila berdosa Atma akan dibawa ke Neraka oleh Sang Hyang Jogor Manik.

Tempat hukuman Atma bermacam-macam, seperti yang termuat dalam kitab “Atmaprangsangsa” yaitu: 

a. Kawah Tamra Gohmuka (kawah weci)

Tempat ini diperuntukkan bagi Atma yang semasa hidupnya selalu berbuat jahat (jenek ring pangan kinum) hingga merugikan orang lain.

b. Batu Macepak

Tempat ini diperuntukkan bagi Atma yang semasa hidupnya penuh dosa akibat perkataannya yang tidak baik.

c. Tihing Petung

Tempat ini diperuntukkan bagi Atma yang semasa hidupnya suka menggunakan ilmu hitam

d. Titi Ugal-Agil

Tempat ini diperuntukkan bagi Atma yang semasa hidupnya doyan “ngerajapisuna” (memfitnah) dan berbohong.

e. Kayu Curiga

Tempat ini diperuntukan bagi Atma yang semasa hidupnya suka melakukan perbuatan Zina.

f. Tegal Penangsaran

Tempat ini diperuntukkan bagi Atma yang semasa hidupnya selalu membuat orang lain sengsara atau sakit hati.

Sifat-Sifat Hukum Karmaphala yaitu:

  • Pasti dan tak terbatalkan
  • Adil sesuai karma    
  • Universal atau berlaku bagi semua mahluk di alam semesta.

Manfaat Hukum Karmaphala yaitu:

  • Memotivasi seseorang untuk selalu berbuat baik.
  • Memotivasi seseorang untuk selalu bersikap positif, dinamis, dan tidak mudah putus asa.
  • Memotivasi seseorang untuk selalu bekerja tanpa pamrih

Sebagai seorang Bhakta yang berbudi luhur, patutlah kita menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk. Kita harus menyadari bahwasanya penderitaan dapat diatasi dengan perbuatan baik. Manusia dapat menolong dirinya dari kesengsaraan dengan cara berbuat yag baik. Hal ini tercantum dalam kitab Sarasamuscaya,2, yaitu sebagai berikut:

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wênang
Gumawayaken ikang śubhāśubhakarma, kuneng panêntasakêna ring
śubhakarma juga ikangaśubhakarma phalaning dadi wwang.

Artinya:

Manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat melakukan kebajikan maupun kejahatan. Terlahir menjadi manusia bertujuan untuk melebur perbuatan-perbuatan jahat ke dalam perbuatan-perbuatan bajik, sehingga tidak ada lagi perbuatan-perbuatan jahat yang masih tersisa dalam diri, inilah hakekat menjadi manusia. Hanya dengan menjadi manusia kejahatan itu dapat dilebur dalam kebajikan.

b. Memahami Karmaphala Sradha Melalui Cerita

Matinya Raja Kamsa

Tersebutklah di kerajaan Mathura ada seorang raja bengis yang bernama Kamsa. Ia mempunyai sepupu bernama Dewaki. Dewaki telah dianggapnya sebagai adik sendiri. Pada suatu hari Dewaki menikah dengan Basudewa. Pada saat mengiringi pernikahan Dewaki dan Basudewa ia mendengar bisikan gaib yang mengatakan bahwa suatu saat nanti, anak Basudewa dan Dewaki akan membunuh Kamsa.

Kamsa sangat khawatir dengan keselamatan nyawanya, kemudian ia memenjarakan Dewaki dan Basudewa. Dalam penjara ketika Dewaki melahirkan anaknya tampa ampun Kamsa membunuh anak Dewaki. Demikian seterusnya setiap Kamsa tahu Dewaki melahirkan, Kamsa langsung merebutnyaa dari tangan Dewaki kemudian membunuhnya. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang sampai enam kali. Pada kehamilan yang ketujuh, istri pertama Basudewa yaitu Rohini datang menjenguk mereka di penjara. Peristiwa ajaib terjadi, kandungan Dewaki berpindah ke dalam Rahim Rohini.

Ketika kelahiran anak yang kedelapan, datanglah pertolongan Dewata. Secara tiba-tiba pintu penjara terbuka sementara para penjaga tertidur lelap. Basudewa segera membawa bayinya ke luar penjara untuk dititipkan kepada Nanda dan Yasoda, sahabatnya. Bayi laki-laki itu ditukar dengan bayi perempuan Nanda. Kemudian Basudewa kembali ke penjara dengan membawa bayi perempuan Nanda.

Begitu matahari terbit, Kamsa bergegas datang ke penjara untuk membunuh bayi Dewaki yang baru lahir. Begitu melihat bahwa bayi tersebut adalah seorang perempuan, ia tidak jadi membunuhnya.

Bayi yang dilahirkan Rohini dan Dewaki mulai tumbuh menjadi pemuda. Anak Rohini bernama Balarama dan anak Dewaki bernama Krishna. Mereka dibesarkan oleh Nanda dan Yasoda di lingkungan pedesaan. Namun hal itu diketahui oleh Kamsa. Kemudian Kamsa mengundang mereka untuk menghadiri pesta di Mathura. Rupanya Kamsa berencana untuk membunuh Krishna. Sesampainya mereka di sana, Kamsa berusaha untuk membunuh mereka namun usahanya tidak berhasil, justru Krishna yang berhasil membunuh Kamsa. Ramalan Dewata menjadi kenyataan, akhirnya Kamsa memperoleh pahala atas karma yang dilakukannya. Ia mati di tangan Krishna yang merupakan Awatara Wisnu.

4. Keyakinan Terhadap Punarbhawa (Punarbhawa Sradha)

a. Mengenal Punarbhawa Sradha

Kata Punarbhawa berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari kata punar.  Kata Punar  artinya lagi atau  kembali. Sedangkan kata bhawa  yang artinya lahir, kelahiran atau menjelma.                    

Jadi Punarbhawa berarti kelahiran kembali atau Penjelmaan kembali/lahir berulang-ulang. Kelahiran ini disebabkan karena Atma atau jiwa manusia masih diliputi oleh keinginan yang berhubungan dengan keduniawian. Keduniawian yang diinginkan oleh manusia ini sangat berhubungan dengan karmaphala.  Adapun ciri-ciri penjelmaan  menurut perbuatannya (Karmanya) antara lain :

a. Orang yang suka membunuh mahluk tanpa alasan dan sewenang-wenang bila ia lahir kembali akan menderita  dan umurnya pendek.

b. Orang yang pemarah, lekas panas hati, lekas benci dan curiga maka ia akan lahir lagi sebagai manusia dengan wajah /rupa yang seram dan jelek.

c. Orang yang tidak mau belajar sama sekali, tidak pernah menanyakan tentang dharma/agama kepada orang yang bijaksana, maka ia lahir sebagai manusia bodoh, tidak mempunyai kecerdasan

d. Orang yang suka menyakiti dan menyiksa  mahluk lain maka kehidupan akan menjadi  lebih rendah dan selalu sakit-sakitan.

e. Orang yang suka  berdana punia dan  menolong orang yang kesusahan maka ia akan menjelma sebagai orang yang disegani, panjang umur dan murah rejeki

f. Orang yang taat melaksanakan sembahyang dan selalu berbuat adil maka akan  lahir menjadi orang yang rupawan dan hidup tentram       

g. Ciri-ciri penjelmaan sebagai akibat hukum karma adalah orang yang lahir dari neraka syuta dalam kehidupannya menderita, miskin dan terhina.

h. Orang yang lahir dari sorga cyuta hidupnya bahagia, berkecukupan dan terhormat.

i.  Upaya-upaya meningkatkan diri dalam kehidupan adalah dengan selalu berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan yang menyimpang dari ajaran Dharma (kebenaran).

b. Penyebab Terjadinya Punarbhawa

Apa yang menyebabkan kita mengalami Punarbhava?  Punarbhawa terjadi sebab jiwatman kita masih dipengaruhi oleh wisaya dan awidya. Atma yang masih diselubungi oleh suksma sarira yang diperbudak  oleh keinginan dan terikat oleh rasa sayang dan ketergantungan dengan dunia material dan itu hanyalah nafsu duniawi yang bersifat maya. (ketidak kekalan) sehingga dapat menodai kesucian Sang Jiwa atau Atma. Kondisi seperti ini membuat Atma belum bisa bersatu kembali dengan sumbernya, yaitu Sang Hyang Widhi (Brahman).  Inilah yang menyebabkan Atma mengalami kelahiran yang berulang-ulang.  Dalam kitab Bhagavad Gita,IV.5 disebutkan:

Śrī bhagāvan uvācha,
Bahūni me vyatī tāni,
Janmāni tava cā ‘rjuna,
Tāny ahaṁ veda sarvāni,
Na twaṁ vttha paraṁtapa

Artinya:

Sri Bhagawan bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu Arjuna semua ini aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak dapat mengetahuinya, O Arjuna.

Setiap perbuatan yang dilakukan pada kehidupan yang lampau menyebabkan adanya bekas (wasana) pada Jiwatman. Jika bekas keduniawian melekat pada Jiwatman, Atma akan mengalami kelahiran kembali. Seperti yang tercantum dalam kitab Sarasamuscaya 7 sebagai berikut:

Karmabhūmiriya brahman,
Phlabhūmirasau mata
Iha yat kurate karma tat,
Paratrobhujyate.

Artinya:

Sebab sebagai manusia sekarang ini adalah akibat baik dan buruknya karma itu juga akhirnya dinikmatilah karmaphala itu. Artinya baik buruk perbuatan itu sekarang akhirnya terbukti hasilnya. Selesai menikmatinya, menjelmalah kembali ia, mengikuti sifat karmaphala. Wasana berarti sangskara, sisa-sisa yang ada dari bau sesuatu yang tinggal bekas-bekasnya saja yang diikuti hukuman yaitu jatuh dari tingkatan surge maupun dari kawah-kawah neraka, adapun perbuatan baik ataupun buruk yang dilakukan di akhirat, tidaklah ia berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang sangat menentukan adalah perbuatan-perbuatan baik atau buruk yang dilakukan sekarang juga.

Berdasarkan kutipan sloka di atas karma dan punarbhawa saling berhubungan. Karma (perbuatan) meliputi pikiran, perkataan dan tindakan.  Apabila karma dilakukan atas dorongan Asubha Karma, Atma akan masuk neraka. Punarbhawa yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara atau menderita. Punarbhawa yang akan datang juga dapat menjadi mahluk yang tingkatannya lebih rendah.

Tapi sebaliknya apabila karma yang dilakukan atas dorongan Subha Karma, maka Atma akan masuk Surga. Apabila menjelma kembali, atma akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna atau lebih tinggi. Hal itu tercantum dalam kitab Sarasamuscaya, 48, yaitu:

“Adharmarucayo mandās,
Tiryaggatiparāyaņāh,
Kŗocchrām yonimanuprāpya,
Na windanti sukham janāh.

Artinya:

Adapun perbuatan orang yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia lepas atau lahir dari neraka (neraka cyuta), menitislah ia menjadi binatang, seperti biri-biri, kerbau dan lain sebagainya; bila kelahirannya kemudian meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara, diombang-ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami kesenangan. Sebaliknya orang yang selalu berbuat baik (subha karma),ia dikemudian hari akan menjelma dari surge (surge cyuta), menjadi orang yang tampan atau cantik, berguna, berkedudukkan tinggi, kaya raya dan berderajat mulia. Itulah hasil yang didapatkannya sebagai hasil (phala) dari berbuatan yang baik.

Dengan meyakini adanya Punarbhawa kita harus menyadari bahwa kelahiran kita tergantung dari “karma wasananya” (sisa-sisa perbuataan pada kehidupan sebelumnya dan hasilnya dinikmati pada kehidupan sekarang).  Apabila kita melakukan karma baik, maka kita akan lahir menjadi orang yang bahagia. Sebaliknya, apabila kita melakukan karma yang buruk, maka kita akan lahir menjadi orang yang menderita. Oleh karena itu kelahiran kembali merupakan kesempatan memperbaiki diri sehingga dapat meningkat ke taraf yang lebih tinggi.

Oleh sebab  itu kita hendaknya menyukuri telah terlahir sebagai manusia. Tentang keutamaan terlahir sebagai manusia kitab Sarasamuscaya sloka 2-8 menegaskan, sebagai berikut:

“Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia”. (Sārasamuccaya, sloka 2)

“Oleh karena itu, janganlah sekali-kali bersedih hati; sekalipun hidupmutidak makmur; dilahirkan menjadi manusia itu, hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun” (Sarasamuccaya Sloka 3)

“Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia” (Sarasamuccaya Sloka 4)

“Adalah orang yang tidak mau melakukan perbuatan baik, (orang semacam itu) dianggap sebagai penyakit yang menjadi obat neraka-loka; apabila ia meninggal dunia, maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat di mana tidak ada obat-obatan, kenyataannya ia selalu tidak dapat memperoleh kesenangan dalam segala perbuatannya” (Sarasamuccaya Sloka 5)

“Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma sebagai manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan” (Sarasamuccaya Sloka 6)

Demikian keuntungan terlahir sebagai manusia yang patut kita syukuri karena ini merupakan kesempatan yang baik untuk selalu berbuat baik agar hidup kita semakin baik.

c. Memahami punarbhawa Sradha Melalui Cerita

Reinkarnasi Dewi Amba menjadi Srikandi

Tersebutlah raja di Kerajaan Kasi sedang mengadakan sanyembara untuk menemukan jodoh putri-putrinya. Raja Kasi mempunyai tiga putri cantik-cantik yang sudah menginjak remaja. Ketiga putri itu bernama : Amba, Ambika dan Ambalika.

Bisma turut serta dalam sayembara itu namun ia datang untuk mewakili adik tirinya yaitu Wicitrawirya. Dengan perkasa Bisma mampu mengalahkan para pangeran dari kerajaan lain yang mengikuti sayembara tersebut, termasuk juga  Raja Salwa yang konon amat tangguh. Bisma memboyong ketiga putri tersebut ke Astina Pura untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya.

Namun sayang Bhisma tidak tahu kalau salah satu dari ketiga putri tersebut sudah mempunyai kekasih.

 Sesampai di Astina Pura Dewi Amba yang tertua dari ketiga putri tersebut menolak untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya, dengan alasan bahwa ia telah memiliki  kekasih dan Ia memilih tambatan hatinya yaitu Raja Salwa sebagai suaminya.

Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik untuk menikahi wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain. Akhirnya ia mengizinkan Amba pergi menghadap Salwa.Ketika Amba tiba di istana Salwa, ia ditolak sebab Salwa enggan menikahi wanita yang telah direbut darinya. Karena Salwa telah dikalahkan oleh Bisma, maka Salwa merasa bahwa yang pantas menikahi Amba adalah Bisma.

Maka Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma yang bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup menolak untuk menikah dengan Amba. Akhirnya hidup Amba terkatung-katung di hutan. Ia tidak diterima oleh Salwa, tidak pula oleh Bisma. Dalam hatinya, timbul kebencian terhadap Bisma, orang yang memisahkannya dari Salwa.

Di dalam hutan, Amba bertemu dengan Rsi Hotrawahana, kakeknya. Setelah mengetahui masalah yang dihadapi Amba, sang resi meminta bantuan Rama Bergawa atau Parasurama, guru Bisma. Parasurama membujuk Bisma agar mau menikahi Amba. Karena Bisma terus-menerus menyatakan penolakan, Parasurama menjadi marah lalu menantang Bisma untuk bertarung. Pertarungan antara Parasurama melawan Bisma berlangsung dengan sengit dan diakhiri setelah para dewa menengahi persoalan tersebut.

Setelah Parasurama gagal membujuk Bisma, Amba pergi berkelana dan bertapa. Ia memuja para dewa, memohon agar bisa melihat Bisma mati. Sangmuka, putera dewa Sangkara, muncul di hadapan Amba sambil memberi kalung bunga. Ia berkata bahwa orang yang memakai kalung bunga tersebut akan menjadi pembunuh Bisma. Setelah menerima pemberian itu, Amba pergi berkelana untuk mencari ksatriayang bersedia memakai kalung bunganya. Meski ada peluang keberhasilan karena kalung tersebut diberikan oleh dewa yang dapat dipercaya, tidak ada orang yang bersedia memakainya setelah mengetahui bahwa orang yang harus dihadapi adalah Bisma. Ketika Amba menemui Raja Drupada, permintaannya juga ditolak karena sang raja takut melawan Bisma. Akhirnya Amba melempar karangan bunganya ke tiang balai pertemuan Raja Drupada, setelah itu ia pergi dengan marah. Karangan bunga tersebut dijaga dengan ketat dan tak ada yang berani menyentuhnya.

Bisma mengembara untuk menjauhi Amba karena menolak menikah, namun Amba selalu mengikutinya. Akhirnya Bisma menodongkan panah ke arah Amba, untuk menakut-nakutinya agar ia segera pergi. Tetapi Amba tidak takut dan berkata, "Dewabrata, saya mendapat kesenangan atau mati, semua karena tanganmu. Saya malu jika harus pulang ke tempat orang tuaku ataupun kembali ke Hastinapura. Dimanakah tempat bagiku untuk berlindung?". Bisma terdiam mendengar perkataan Amba. Lama ia merentangkan panahnya sehingga tangannya berkeringat. Panah pun terlepas karena tangannya basah dan licin oleh keringat. Panahnya menembus dada Amba. Dengan segera Bisma membalut lukanya sambil menangis tersedu-sedu. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Amba berpesan kepada Bisma, bahwa ia akan menjelma sebagai anak Raja Drupada, yang ikut serta dalam  pertempuran akbar antara Pandawa danKorawa. Setelah Amba berpesan kepada Bisma untuk yang terakhir kalinya, ia pun menghembuskan napas terakhirnya, seperti tidur nampaknya.

Dalam kehidupan selanjutnya, Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi, yang memihak Pandawa saat perang di kurukshetra. Srikandi adalah anak  yang istimewa dari  Raja Drupada dari kerajaan Pancala. Pada saat lahir, ia berkelamin wanita, namun setelah dewasa ia berganti kelamin atas bantuan seorang Yaksa. Srikandi-lah orang yang bersedia memakai kalung Dewa Sangkara sebagai tanda bahwa ia akan membunuh Bisma. Dan ketika perang Bharata Yudha terjadi Srikandi berhasil membunuh Bhisma dengan bantuan Arjuna.

5. Keyakinan Terhadap Moksa (Moksa Sradha)

a. Mengenal Moksa Sradha

Kata Moksa berasal dari bhasa Sanskerta dari kata “Muc” yang artinya melepaskan atau  membebaskan.

Dalam Jadi Moksa berarti: bebasnya Atma dari ikatan unsur duniawi dan mencapai kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani yang sempurna yaitu dapat bersatu dengan Brahman.

b. Jenis-jenis Moksa

Moksa dibedakan menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut:

1. Samipya adalah moksa yang dicapai saat masih hidup di dunia ini. Moksa ini bisa dicapai oleh para Maharsi ketika melaksanakan tapa, brata, yoga dan samadhi.  Setelah mencapai moksa, mereka bisa menerima wahyu dari Tuhan secara langsung.

2. Sarupya (Sadharmya) adalah moksa yang dicapai saat masih hidup  di dunia ini. Moksa ini dicapai ketika Atma mampu mengatasi hal-hal duniawi. Moksa ini dapat dicapai oleh Awatara-Awatara.

3. Salokya adalah moksa yang dicapai ketika Atma telah berada pada tingkatan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Atma telah mencapai tingkatan Dewa, tetapi belum bisa bersatu dengan Tuhan.

4. Sayujya adalah moksa yang dicapai ketika Atma telah bersatu dengan Tuhan.

Pembagian moksa ini diuraikan dalam sloka Bhāgavata Purāna 3.29.13 yaitu sebagai berikut:

Sālokya-sārṣti-sāmipya
Sārūpyaikatvam apy uta
dīyamānaṁ na gŗhņanti
vinā mat-sevanaṁ janāḥ

Artinya:

Seorang penyembah murni tidak ingin menerima moksa jenis apapun, Salokya (tinggal di planet yang sama dengan Tuhan), sarşti (memperoleh kemewahan yang sama dengan kemewahan Tuhan), Samipya (menjadi rekan pribadi Tuhan), Sarupya (mendapat ciri badan yang sama dengan Tuhan), atau Ekatwa (Jiwanmukti, menyatu dengan cahaya Brahman). Walaupun semua hal tersebut ditawarkan oleh Keperibadian Tuhan Yang Maha Esa.

Sloka Bhāgavata Purāna 9.4.67 juga mengatakan:

Mat-sevayā pratītaṁ te
Sālokyādi-catuşţayam
Necchanti sevayā pūrņāḥ
Kuto ‘nyat kāla-viplutam

Artinya:

Penyembah-Ku selalu puas dalam pelayanan bhakti kepada-Ku dan tidak tertarik pada empat jenis pembebasan [moksa; salokya, sarupya, samipya dan sarsti], meskipun secara otomatis hal itu bisa dicapai dengan pelayanan.

c. Tingkatan-Tingkatan Moksa

Adapun tingkatan-tingkatan moksa adalah sebagai berikut:

1. Jiwa Mukti adalah kebebasan yang dicapai seseorang selama hidup di dunia ini. Atma orang tersebut tidak lagi terpengaruh oleh unsur-unsur duniawi.

2. Wideha Mukti (Karma Mukti) adalah kebebasan yang dicapai oleh seseorang selama hidup di dunia ini. Atma orang tersebut telah meninggalkan jasadnya, akan tetapi Atma belum bisa bersatu dengan Brahman/Tuhan, karena masih ada pengaruh unsur-unsur duniawi.

3. Purna Mukti adalah kebebasan yang dicapai seseorang ketika Atmanya telah menyatu dengan Brahman. Tingkatan moksa ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dan sempurna.

Sedangkan jenis moksa bila dilihat berdasarkan kebebasan yang dicapai Atma, maka moksa dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

1. Moksa yaitu seseorang yang telah mencapai moksa akan tetapi masih meningglkn bekas, berupa badan kasar.

2. Adi Moksa yaitu seseorang yang telah mencapai moksa dan masih meninggalkan bekas berupa abu.

3. Parama Moksa yaitu seseorang yang telah mencapai moksa dan tidak meninggalkan bekas apapun.

d. Cara Mencapai Moksa

Ada empat jalan untuk mencapi moksa yang disebut “Catur Marga Yoga” yaitu sebagai berikut:

  1. Bakti Marga
  2. Karma Marga
  3. Jnana Marga
  4. Raja Marga

1. Bhakti Marga Yoga

Bhakti Marga Yoga adalah cara mencapai moksa dengan sikap bhakti  kepada Sang Hyang Widhi/Tuhan, seperti yang tercantum dalam sloka Kitab Bhagavad Gita, IX.26, yaitu:

Patraṁ puṣpaṁ phalaṁ toyaṁ
Yo me bhaktyā prayacchati
Tad ahaṁ bhakti-upahŗtam
Aşināmi prayatātmanaḥ

Artinya:

Siapapun yang dengan puja bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, setangkai bunga, sebiji buah, setetes air, Aku terima dengan segala bhakti persembahan.

Sebutan bagi orang yang melakukan Bhakti Marga Yoga adalah Bhakta. Contoh Bhakti Marga Yoga yaitu sembahyang secara teratur setiap hari dn melkukan upacara yajna.

2. Karma Marga Yoga

Karma Marga Yoga adalah cara mencapai moksa melalui perbuatan atau kebajikan tampa pamrih. Ajaran Karma Marga Yoga terdapat dalam kitab Bhagavad Gita yaitu sebagai berikut:

Bhagavad Gita Bab III.30 yang berbunyi:

Mayi sarvāņi karmāņi sannyasyādhnyātma-cetesā
Nirāśīr nirmano bhūtvā yudhyasva vigata-jvaraḥ

Artinya:

Serahkanlah pekerjaanmu kepada-Ku, memiliki pengetahuan sepenuhnya tentang-Ku, bebas dari keinginan untuk keuntungan, tampa tuntutan akan hak milik, bebas dari sifat malas, dan bertempurlah ( berkarma melakukann kewajiban).

Bhagavad Gita Bab III.19 yang berbunyi:

Tasmād asaktaḥ satataṁ kāryaṁ karma samācara
Asakto hy ācaran karma param āpnoti pūruṣaḥ

Artinya:

Bekerjalah kamu selalu, yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya yang tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya.

Orang yang melaksanakan Karma Marga Yoga disebut Karmin. Contoh Karma Marga Yoga, yaitu melaksanakan “ngayah” dengan tulus dan iklas.

3. Jnana Marga Yoga

Jnana Marga Yoga adalah cara mencapai moksa melalui pengetahuan. Ajaran Jnana Marga Yoga tercantum dalam kitab Bhagavad Gita II.56, sebagai berikut:

Duḥkheṣv anudvigna-manāḥ sukheşu vigata-spŗhaḥ
Vita-rāga-bhaya-krodhaḥ sthita-dhīr munir ucyate

Artinya:

Ia yang pikirannya tidak tergoyahkan bahkan di tengah-tengah tiga jenis kesengsaraan, tidak gembira pada saat bahagia, dan bebas dari ikatan, rasa takut dan amarah, disebut rsi yang maantap dalam pikirannya.

Orang yang melaksanakan Jnana Marga Yoga disebut “Jnanin”. Contoh Jnana Marga Yoga yaitu melaksanakan nasihat Catur Guru dengan sebaik-baiknya.

4. Raja Marga Yoga

Raja Marga Yoga adalah cara mencapai moksa melalui jalan kerohanian, yaitu: tapa, brta, yoga dan Samadhi. Orang yang melaksanakan Raja Marga Yoga disebut “Raja Yogin”. Raja Yogin melaksanakan Raja Marga Yoga melalui “Astangga Yoga”. Astangga Yoga adalah delapan tahapan yoga untuk mencapai moksa.

Astangga Yoga 

1. Yama

Yama yaitu larangan yang harus dipatuhi seseorang. Larangan ini bersifat jasmani, misalnya tidak membunuh atau “Ahimsa”, tidak berbohong atau “Satya”, dan tidak menginginkan sesuatu yang bukaan miliknya atau “Asteya”.

2. Nyama

Nyama yaitu pengendalian diri yang bersifat rohani, misalnya mempelajari kitab keagamaan (Swadhyaya), tetap suci lahir dan batin (sauca), dan tahan uji (tapa).

3. Asana

Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin.

4. Pranayama

Pranayama yaitu mengatur pernapasan agar sempurna melalui 3 cara. Ketiga cara tersebut adalah menarik napas (Puraka), menahan napas (Kumbhaka), dan mengeluarkan nafas (Recaka).

5. Pratyahara

Pratyahara yaitu mengontrol dan mengendalikan alat indra dari ikatan objeknya agar seseorang bisa melihat hal-hal suci.

6. Dharana

Dharana yaitu usaha menyatukan pikiran dengan sasaran atau tujuan yang diinginkan. Sasaran atau tujuan itu adalah Brahman.

7. Dhyana

Dhyana yaitu pemusatan pikiran yang tenang dan tidak tergoyahkan terhadap suatu objek.

8. Samadhi

Samadhi yaitu penyatuan Atma dengan Brahman.

e. Memahami Moksa Sradha Melalui Cerita

Pandawa Mencapai Surga

Beberapa tahun setelah Perang Bharatayudha berakhir, Pandawa dan Dewi Drupadi melakukan perjalanan suci menuju Gunung Himalaya. Saat sampai dikaki gunung seekor anjing mengikuti mereka menuju puncak gunung.

Dalam perjalanan suci tersebut mereka melewati berbagai rintangan. Dewi Drupadi tidak sanggup meneruskan perjalanan, lalu meninggal. Ia meninggal karena dosanya, yaitu lebih mencintai Arjuna daripada Pandawa lainnya. Setelah itu Sahadewa meninggal karena ia terlalu percaya diri terhadap kesaktiannya. Ia meremehkan para Dewa dan orang lain. Tak lama kemudian Sahadewa meninggal karena merasa keyakinannya yang paling benar. Kemudian Arjuna meninggal karena terlalu yakin akan kemampuannya mengalahkan musuh-musuh. Setelah itu Bhima meninggal karena merasa kekuatannya mampu menghancurkan bumi.

Akhirnya hanya Yudistira dan anjing yang mengikutinya mampu bertahan sampai pintu gerbang surge. Di sana ia disambut Bhatara Indra dan dipersilahkan naik kereta kahyangan. Akan tetapi, ia mau naik kereka jika anjing itu menyertainya. Karena Yudistira teguh pada pendiriannya, maka Bhatara Indra mengizinkan anjing tersebut turut serta. Ketika naik ke kereta tiba-tiba anjing itu lenyap.

Sesampainnya di Surga, Yudistira kaget karena melihat para Kaurawa berada di Surga, sedangkan ia tahu Duryodana banyak berbuat dosa. Bhatara Indra menawarkan untuk tinggal di Surga, akan tetapi Yudistira menolaknya. Ia ingin bersama saudara-saudara juga istrinya Dewi Drupadi. Kemudian Yudistira diantar ke neraka. Di sana ia melihat istri dan saudara-saudaranya mendapat siksaan. Hatinya sedih dan ia memilih untuk tinggal bersama mereka. Pada hari yang ketigabelas, Bhatara Indra dan Bhatara Yama datang ke neraka untuk membebaskan Dewi Drupadi beserta para Pandawa. Mereka diangkat ke Surga, sedangkan para Kaurawa diturunkan ke neraka.

3. Tat Twam Asi

A. Mengenal Tat Twam Asi

1. Pengertian Tat Twam Asi

Kata Tat Twam Asi berasal dari Bahasa Sanskerta, dari kata Tat artinya itu, Twam artinya engkau dan Asi artinya adalah. Jadi Tat Twam Asi artinya itu adalah engkau.

Tat Twam Asi mempunyai makna bahwa setiap orang adalah sama, setiap mahluk hidup berasal dari sumber yang sama yaitu Sang Hyang Widhi. Dalam Upanisad disebutkan “Brahman Atman Aikyam” yang artinya Brahman dan Atma adalah tunggal. Jiwatman yang ada dalam setiap mahluk adalah berasal dari satu sumber dan menyatu dengan Brahman. Kita sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Jika kita menghinaa orang lain sama artinya menghina ciptaan tuhan yang sama seperti kita. Bila kita menyakiti mahluk lain itu sama artinya dengan menyakiti mahluk ciptaan Tuhan yang sama dengan kita. Jika kita membantu orang lain itu sama artinya dengan membantu diri sendiri. Jika kita menghormati atau menghargai orang lain itu sama dengan menghargai diri sendiri tapi bila sebaliknya merendahkan orang lain sama artinya dengan merendahkan diri sendiri. Maka dari itu kalau ingin dihargai hargailah orang lain dan lakukan kebaikan kepada orang lain karena itu akan bermanfaat bagi diri sendiri.

2. Fungsi Tat Twam Asi

a. Penuntun Untuk Hidup Saling Membantu

Manusia adalah mahluk social yang hidupnya berkelompok. Jadi manusia tidak dapat hidup sendiri, karena setiap orang akan selalu membutuhkan orang lain dlam hidupnya.  Dalam menjaga hubungan atara satu  dengan yang lainnya agar harmonis dibutuhkan sikap keiklasan untuk bisa saling memberi dan menerima. Juga kesadaran untuk saling membantu dalam bentuk harta benda maupun perbuatan atau kemampuan.

Kesediaan untuk mendermakan kelebihan kepada orang lain yang membutuhkan bantuan tersurat dalam kitab Sarasamuscaya 178, yaitu sebagai berikut:

Ndya kari doning dhana, yan tan dānākkêna, tan tan bhutin, Mangkanang kasaktian, tan padan ika yan tan sādhana ning mangalahanang musuh, mangkanang aji, tan padan ika yan tan suluha aring dharmasādhana, mangkanang buddhi kaprajnān, tan padan ika yan tan suluha aring dharmasādhana, mangkanang buddhi kaprajñān, tan padon ika yan tan pangalahakenendriya, tan pangawacākênang rajah tamah.

Artinya:

Apa gerangan gunanya kekayaan bila tidak untuk disedekahkan dan untuk dinikmati. Demikian pula kesaktian, tidak ada gunanya bila tidak untuk suluh dalam pelaksanaan Dharma. Demikian pula budi yang arif bijaksana tidak ada gunanya bila tidak untuk menaklukkan hawa nafsu, agar tidak dikuasai rajah tamah.

b. Penuntun Untuk Hidup Saling Menghormati

Setiap orang punya harga diri, tak seorangpun suka direndahkan atau diremehkan. Dengan demikian diperlukaan pemahaman dan kesadaran sikap saling menghormati satu sama lain. Dengan saling menghormati maka kerukunan bisa terwujud. Dengaan kerukunaan maka kita akan dapat merasakan kedamaian dan ketentraman di dalam hidup ini.

B. Melaksanakan Tat Twam Asi

1. Menghormati dan Mengasihi Anggota Keluarga

a. Menghormati Orang Tua

Penerapan Tat Twam Asi dalam keluarga dapat dilakukan dengan selalu menghormati orang tua dan orang yang lebih tua dari kita. Contohnya patuh dan taat dengan nasehat orang tua. Dengan menghormati orang tua kita ikut mewujudkan kedamaian dalam keluarga.

b. Mengasihi Saudara

Selain menghormati orang tua dan orang yang lebih tua dari kita, juga diperlukan sikap mengasihi saudara juga anggota keluarga lainnya. Hal itu dapat diwujudkan dengan saling mengerti, saling mendengarkan, saling menolong dan mampu mengendalikan diri sehingga kerukunan dalam keluaarga bisa terwujud.

2. Menghormati Guru dan Mengasihi Teman

a. Menghormati Guru

Di sekolah tempat kita menuntut ilmu agar menjadi orang yang pintar dan mempunyai Budhi yang luhur. Semua Itu dapat terwujud atas bimbingan dan didikan guru pengajian. Kita mesti menghormati guru dengan bersikap sopan dan rajin belajar. Jika kita kasar dan merendahkan guru, konon Sang Hyang Aji Saraswati akan mengutuk, sehingga kita akan menjadi orang yang tidak berguna dan selalu mendapat kemalangan dalam kehidupan ini. Jika kita memperlakukan guru dengan semestinya kelak hidup kita akan penuh keberuntungan dan kebahagiaan.

b. Mengasihi Teman

Dalam menciptakan suasana belajar yang kondusip diperlukan sikap saling mengasihi antara sesama teman. Misalnya dengan cara menghargai perbedaan, saling menolong antar teman dan sebagainya.

3. Menghormati Warga Sekitar

Menghormati Warga Sekitar dengan aktif ikut dalam kegiatan warga, misalnya gotong-royong, dan kegiatan agama (ngayah), peduli terhadap warga, serta mematuhi aturan bersama. Membantu warga yang kesusahan, menjenguk tetangga yang sakit dan sebagainya.

4. Menjaga Lingkungan Sekitar

dengan membuang sampah pada tempatnya, merawat dan menjaga kebersihan dan kesucian tempat suci dan sebagainya. Menanam, memelihara: menyiangi, menyiram dan memupuk tanaman, merawat hewan peliharaan dengan baik dan tidak membiarkanya merusak linggkungan ataupun mengganggu ketentraman orang lain.

C. Memahami Tat Twam Asi Melalui Cerita

Rama Diasingkan ke Hutan

Di Kerajaan Kosala, raja Dasarata memiliki tiga orang permaisuri, yaitu yang tertua bernama Dewi Kosalya, Dewi Sumitra, dan yang paling muda bernama Dewi Kekayi. Dewi Kosalya berputra Rama, Dewi Sumitra mempunyai putra kembar bernama Laksamana dan Satrugna, sedangkan Dewi Kekayi berputra Bharata.

Pada suatu hari Raja Dasarata ingin memberikan takhtanya kepada putra sulungnya, yaitu Rama. Namun rencana itu ditentang oleh Dewi Kekayi. Dewi Kekayi ingin Bharata yang menjadi raja. Selain itu Dewi Kekayi memohon agar Rama diasingkan ke hutan. Raja Dasarata tak berdaya menolak permohonan itu.

Raja Dasarata kemudian memanggil Rama. Dengan hati yang sangat berat ia menyampaikan janjinya yang harus dipenuhi kepada Dewi Kekayi. Mendengar hal itu, Rama memutuskan untuk memenuhi janji ayahnya, karena ia tidak ingin ayahnya ingkar janji.

Kemudian Rama berpamitan kepada ayah dan ibunya yaitu Raja Dasarata dan Dewi Kosalya serta kepada seluruh penghuni istana. Ia juga berpamitan kepada istrinya, namun istrinya yang bernama Dewi Sita bersikeras untuk mengikuti Rama ke hutan. Dewi Sita menyatakan bahwa seorang istri harus selalu berada di samping suaminya dalam suka maupun duka.

Salah satu adik Rama yang bernama Laksamana juga bersikukuh untuk mengikuti Rama ke dalam hutan. Laksamana ingin bersama kakaknya Rama menghadapi segala sesuatu di hutan. Akhirnya mereka bertiga yakni Rama, Dewi Sita dan Laksamana berangkat ke hutan untuk memenuhi janji Raja Dasarata.

2. Tat Twam Asi dalam Cerita Mahabharata

Matinya Bakasura

Diceritakan dalam pengembaraan Pandawa tiba di kota Ekacakra. Pandawa melakukan penyamaran sebagai keluarga brahmana dan menumpang di rumah seorang brahmana di kota tersebut.

Di pinggir kota Ekacakra terdapat gua yang dihuni oleh seorang raksasa yang sangat buas bernama Bakasura. Selama 13 tahun Bakasura menguasai kota Ekacakra. Raksasa tersebut memperlakukan penduduk kota dengan sangat kejam. Bila ia sedang lapar maka dengan sewenang-wenang menagkapi dan memangsa penduduk kapan saja.

Maka dari itu penduduk kota melakukan perjanjian dengan Bakasura, bahwa setiap minggu penduduk akan mengirimkan sebuah kereta yang penuh dengan makanan.  Kereta tersebut akan ditarik oleh dua ekor kerbau dan seorang manusia sebagai kusirnya. Bila kereta sudah sampai di depan mulut gua, bakasura boleh memakn dan menghabiskan seluruh makanan di kereta tersebut beserta dua ekor kerbau dengan kusirnya. Dengan demikian raksasa Bakasura tidak lagi sewenang-wenang menangkapi penduduk kota.

Sekarang tibalah giliran keluarga brahmana tempat Pandawa menumpang. Keluarga itu sangat sedih karena mereka harus menyerahkan diri kepada Bakasura.  Dewi Kunti mengetahui hal itu lalu menanyakan kepada mereka prihal kesedihannya. Keluarga brahmana itupun menceritakan penyebab kesedihannya tentang pengorbanan diri sebagai santapan Bakasura.

Sebagai balas budi kepada keluarga brahmana tersebut yang telas memberinya tumpangan tempat tinggal, Dewi Kunti kemudian menawarkan diri untuk membantunya. Lalu mengutus Bhima untuk berpura-pura dikorbankan kepada raksasa Bakasura.

Akhirnya pada waktu yang ditentukan, penduduk kota mengumpulkan makanan dan minuman. Makanan dan minuman itu ditaruh di kereta yang ditarik oleh dua ekor kerbau yang gemuk-gemuk. Bhima menjadi kusir kereta tersebut menuju gua tempat tinggal Bakasura.

Setibanya di mulut gua Bhima menghabiskan semua makanan di kereta tersebut, tentu saja membuat marah Raksasa Bakasura. Bakasura melompat menerkam Bhima, akan tetapi Bhima memberikan perlawanan dengan garang. Maka terjadilah perkelahian yang sangat sengit diantara keduanya.  Akhirnya Bhima dapat mengalahkan Bakasura. Setelah Bakasura mati, penduduk kota Ekacakra dapat terbebas dari raksasa yang jahat dan kejam itu.

4. Sad Ripu

A. Mengenal Sad Ripu

Sad Ripu. Kata Sad Ripu berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata Sad berarti enam, dan Ripu berarti musuh. Jadi Sad Ripu  artinya enam musuh yang ada dalam diri setiap orang, Semua itu perlu dikendalikan. Bila kita tidak dapat mengendalikanya maka akan berdampak buruk terhadap  kehidupan dan kita akan jatuh ke dalam kesengsaraan.

Dalam kekawin Ramayana 1.4,  ada disebutkan sebagai berikut :

Rāgādi musuh maparē,
riati ya tonggwania tan madoh ri awak.
Yeka tan hana ri sira
Prawira wihikan sireng nīti

Artinya :

Musuh itu sangat dekat dengan badan kita, dihati tempatnya tidak jauh dari badan kita. Yang semacam itu tidak ada dalam diri beliau (Dasarata) sifat kesatria yang dimilikinya, serta pintar dalam menjalankan pemerintahan. Jadi dengan demikian musuh dari dalam hatilah yang harus kita taklukkan terlebih dahulu, karena sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan kita di dunia ini.

2. Bagian-Bagian Sad Ripu

Adapun ke enam musuh-musuh itu yaitu :

  1. Kama, artinya keinginan, nafsu, hasrat, kepuasan dan kesenangan
  2. Lobha, artinya tamak
  3. Krodha, artinya kemarahan
  4. Moha; artinya bingung, kusut, nanar, tak ingat, menyasar, ngawur, membabi buta, tolol, kebodohan, kesesatan, dan kegilaan
  5. Mada, artinya mabuk, gila, congkak, dan sombong
  6. Matsarya, artinya suka membenci dan irihati.

 a. Kama

Kama berarti keinginan atau hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia. Setiap manusia memiliki keinginan. Keinginan yang terkendali dapat memberikan dampak yang positif. Akan tetapi bila tidak terkendali dapat menimbulkan perbuatan yang negative sehingga dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Contoh keinginan yang tidak terkendali misalnya menginginkan sesuatu diluar batas kemampuan, menginginkan milik orang lain, atau ingin menyakiti mahluk hidup lain. Hal ini tersurat dalam Kitab Bhagavad Gita, Bab III.37, yaitu sebagai berikut:

Śri-bhagavān uvāca
Kāma esa krodha esa
Rajo-guna-samudbhavah
Mahāśano mahā-pāpmā
Viddhy enam iha vairinam

Artinya:

Sri Bhagvan (Tuhan) bersabda

Itu adalah nafsu, amarah yang lahir dari rājaguna; sangat merusak, penuh dosa ketahuilah bahwa keduanya ini adalah musuh yang ada di bumi.

Oleh karena itu Kama, keinginan yang dapat diredam/dikendalikan (bersifat positif), dengan kesadaran bahwa keinginan sesungguhnya memperbudak pikiran, agar pikiran tidak diperbudak arahkanlah pada hal yang positif, antara lain.

a. Sadari kemampuan diri sendiri
b. Sesuaikan keperluan dan kebutuhan.
c. Rajin sembahyang
d. Hidup sederhana

b. Lobha

Lobha sama dengan tamak, serakah, atau rakus, artinya selalu ingin mendapatkan lebih. Apa bila terkendali, sifat ini dapat memberikan dampak positif. Misalnya semakin kuatnya rasa kepedulian, Tattwamasi,dan satya. Akan tetapi bila tidak terkendali, seseorang dapat melakukan hal-hal yang negative. Misalnya mengambil hak orang lain, memeras orang lain, selalu menuntut hak, makan secara berlebihan, dan lebih mementingkan diri sendiri. Sikap tamak atau lobha menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan. Pikiran yang dikuasai oleh sifat tamak akan selalu gelisah, bergelora bagaikan gelombang samudra. Untuk itu perilaku lobha harus dikendalikan dengan selalu bersikap positif. Sesungguhnya setiap orang memiliki sifat tamak. Sifat  tamak perlu dikendalikan agar tidak menimbulkan penderitaan bagi dirinya dan juga bagi orang lain. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan sebagai berikut :

Jatasya hi kule mukhye paravitteṣu grhdyatah lobhaṣça
Prajñāmāhanti prajñā hanti hatā çriyam (Sarasamuscaya, sloka 267)

Artinya:

Biarpun orang keturunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, hilanglah kearifannya karena kelobhaannya: apabila telah hilang kearifannya itu, itulah yang menghilangkan kemuliaannya dan seluruh kemegahannya. 

Yawat metung kalobhan, niyata tan santosanikang wwang, tan santosa
owa ya ta, niyata ta ya amngguh lara prihati, lawan mangkin wrddhi
pangawecanikang indriya dening kalobhan, mangaweca pwang indriya,
hilang tang kaprajnan, mwang salwirning aji pangangawruh nikang wwang,
kadi kramaning aji tan sinwadhyaya. (Sarasamuscaya, sloka 461)

Artinya:

Semakin besar keluarnya kelobaan itu, pasti semakin besar ketidak puasan  orang itu, jika orang tidak puas, tak dapat tiada ia mengalami kesedihan dan kedukaan yang semakin hebat pengaruh indria itu oleh kelobaan, jika indria itu mengacaukan pikiran, maka lenyaplah kebjaksanaan dan segala ilmu pengetahuan orang itu, sebagai halnya ilmu pengetahuan yang tidak diamalkan. (Kajeng 1997:360)

Sifat tamak atau  lobha itu membuat orang benci kepada kita, maka itu Hindarilah ia, dan menjadilah orang darmawan, pengasih dan penyayang

c. Krodha

Krodha artinya kemarahan, ibarat api yang ada dalam diri yang bisa menghanguskan segalanya. . Sifat marah dimiliki oleh semua orang, oleh karena itu perlu dikendalikan. Kemarahan menyebabkan kita berkelahi, bertengkar, meyebabkan kita membunuh dan berbuat kejam kepada orang lain dan makhluk lainnya. Kemarahan juga menyebabkan pikiran kita bingung, sehingga sulit membedakan mana yang baik, mana yang buruk, dan akhirnya mengakibatkan penderitaan. Dalam kitab suci Sarasamuscaya disebutkan :

Na catravah ksayam yānti yāvajjāvamapi ghnatah,
Krodham niyantum yo veda tasya dveṣtā na vidyate. (Sarasamuscaya sloka 96).

Artinya:

Sebenarnya meskipun orang itu selalu jaya terhadap seterunya, serta tak terbilang jumlah musuh yang dibunuhnya, asal yang dibencinya musnah, selama hidupnya pun, jika ia hanya menuruti kemarahan hatinya belaka, tentu saja tidak akan habis-habis musuhnya itu. Akan tetapi orang yang benar-benar tidak mempunyai musuh adalah orang yang berhasil mengekang kemarahan hatinya.

Lawan lwierning kakawaca dening krodha, tan wruh juga ya ri salah
kenaning ujar, tatan wruh ya ring ulah larangan, lawan adharma, wenang
uumajaraken ikang tan yukti wuwusakena” (Sarasamuscaya ,106)

Artinya:

Selain dari pada itu, orang yang dikuasai oleh nafsu amarah, tidaklah dia mengetahui salah benarnya perkataan, tidak mengetahui tentang perbuatan terlarang dan yang bertentangan dengan dharma, sanggup mengatakan kata-kata yang tidak benar untuk dikatakan (Kajeng, 1997:92).

 d. Mada

Mada artinya mabuk. Penyebab mabuk itu banyak. Mabuk bisa disebabkan oleh minuman keras, oleh kepandaian, oleh kekayaan, kecantikan, semua itu menyebabkan orang menjadi lupa diri. Seseorang yang mabuk pikirannya menjadi gelap, dan cenderung berbuat yang bersifat negatif, yang mengakibatkan penderitaan  bagi dirinya secara lahir dan batin. Oleh karena itu patut dihindari dengan cara selalu mengikuti petunjuk-petunjuk agama. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan :

 samkliṣṭakarmānamatipramādam bhūyo’nṛtam cadṛ
dabhaktikaṁ ca, viciṣṭaragaṁ bahumāyinaṁ ca naitān niṣeveta
narādhamān ṣaṭ. (Sarasamuscaya sloka 325).

Artinya:

Inilah misalnya orang yang tidak patut dijadikan kawan bergaul, orang yang mengusahakan penyakit dan kesedihan kepada orang lain, serta buruk laku, orang yang lupa, orang berbohong atau dusta, orang yang terikat hatinya kepada minuman keras, keenam orang yang sangat keji itulah yang patut dihindarkan. 

Tuwi pwa yan pamangun mada, apan tiga prasiddhaning  amangun mada,
ikang amuhara wulangun ring apunggung, pratyekanya, stri, annapanadi
bhoga, aicwarya, nahan tang amangun, hana pwa jenek irika, ya tika aturu
tan wring rat ngaranya (Sarasamuscaya, 468)

Artinya:

Sesungguhnya itu membuat kebingungan, sebab ketiga itu yang sesungguhnya membuat pikiran bingung, yang mengakibatkan kebingungan meskipun kepada orang yang bodoh, masing-masingnya yaitu, makanan, dan minuman yang lezat, kekuasaan, itulah yang menimbulkan mabuknya pikiran, jika ada orang yang suka dan terikat hatinya pada ke tiga itu, orang yang demikian disebut tidur nyenyak, tak sadar akan diri (Kajeng, 1997:366).

Ada tujuh kemabukan yang disebut dengan Sapta Timira

Pengertian Sapta Timira.

Kata Sapta Timira berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “ Sapta” yang berarti tujuh  dan kata “ Timira “ berarti gelap, suram, kemabukan (Awidya ). Sapta Timira berarti  Tujuh Kegelapan atau kemabukkan . Yang dimaksud  tujuh kegelapan adalah tujuh unsur atau sifat  yang menyebabkan pikiran orang menjadi gelap yaitu:

1. Surupa adalah merasa diri paling rupawan (cantik/ganteng) karena mabuk akan kerupawanan wajahnya ia seringkali menghina atau melecehkan orang lain. Wajah cantik dan tampan sering disalah gunakan , sehingga kita menjadi sombong dan tinggi hati. Hal itu bisa menjadi sumber kehancuran.

2. Dana adalah merasa diri kaya raya karena banyak memiliki harta benda dan uang. Ia selalu menggunakan uang dan harta sekehendak hatinya untuk menghina, mengejek, dan menghancurkan orang lain. Karena memiliki banyak harta, ia merasa paling mampu dan lupa bahwa semua harta hanyalah titipan sementara. Jika kekayaan didapat dan digunakan diluar dharma maka menyebabkan orang menjadi sombong, angkuh, menghina orang lain dan mengumbar hawa nafsu.

3. Guna  adalah Merasa diri paling pintar selalu menganggap orang lain bodoh dan tidak mampu. Mereka yang meras pintar biasanya akan menjadi sombong.  Apalagi  jika kepandaian berada pada orang yang bermoral buruk, maka dunia dan isinya akan menjadi hancur.

4. Kulina adalah merasa diri punya jabatan atau merasa diri seorang bangsawan sehingga membuat dirinya menjadi sombong, seolah-olah dialah yang dapat mengatur segala-segalanya. Karena kemabukan ia menjadi lupa bahwa ia sesungguhnya berasal dari rakyat biasa, jabatan itu sifatnya sementara dan kebangsawanan tiada arti tanpa orang lain yang menghormati kebangsawanan seseorang.Sepatutnya berbahagia berada dalam keturunan orang terhormat, bangsawan . Namun juga karena keturunan  orang menjadi besar kepala, angkuh , menghina orang, dan orang lain dianggap rendah tidak berguna  maka akan terjerumuslah dirinya , yang menyebabkan linkungan masyarakat menjadi antipati, mencela, sehingga tersisih dari pergaulan dan akibatnya menderita. 

5. Yowana adalah merasa diri muda/remaja dengan tenaga yang kuat. Ia lupa bahwa sastra agama menyebutkan “masa kecil akan menunggu masa remaja, dan remaja, tua lah yang dinanti. Sedangkan masa tua hanya kematian lah yang menunggu. Maka dari itu janganlah mabuk masa remaja, manfaatkanlah keremajaan untuk mengisi diri mempersiapkan masa tua dengan sebaik-baiknya berdasarkan dharma.

6. Sura  adalah merasa selalu percaya diri akibat pengaruh minuman berakohol atau minuman keras yang akan merusak syaraf, merusak ingatan, merusak kesehatan pencernaan, ginjal, hati, dan jantung. Akibat minum minuman keras yang paling sering terjadi adalah timbulnya kecelakaan lalu-lintas, kekerasan atau tindak criminal. 

7. Kasuran adalah merasa diri selalu menang dan berani. Sering kali mereka yang menang dalam seuatu peristiwa merasa sombong, mabuk akan kemenangan dan keberanian yang bertentangan dengan Dharma.

e. Moha

Moha artinya kebingungan. Kebingungan menyebabkan seseorang tidak bisa menggunakan akal sehatnya sehingga pikirannya menjadi kacau dan gelap, sehingga seseorang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sesorang yang pikirannya kebingungan, maka dia akan cenderung berbuat negatif, dia tidak akan segan membunuh orang lain bahkan membunuh dirinya sendiri. Penyebab kebingungan itu banyak ditimpa kesusahan yang berat, kehilangan sesuatu yang dicintai, ada sesuatu yang menekan perasan, atau karena tidak dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Kebingungan juga disebabkan oleh kemarahan. Maka hindarilah diri dari kebingungan, hendaknya seseorang mengendalikan pikirannya kearah yang positif.  Dalam kitab Bhagawadgita disebutkan:

anubhandhaṁ kṣhayaṁ hiṁsām
anapekṣhya ca paurusam
mohād ārabhyate karma
yat tat tāmasam ucyate. (Bhagavad Gītā XVIII. 25).

Artinya:

Kegiatan kerja yang dilakukan karena kebingungan tanpa menghiraukan akibatnya, menyakiti hati dan tak peduli akan kemampuan, yang demikian itu disebut tamasa.

krodhād bhavati saṁmohah,
sammohat smrtivibhramah,
smṛtibharaṁśad buddhināso,
buddhināśāt pranaśyati (Bhagawadgita, II, 63)

Artinya:

Dari kemarahan muncullah di dalam diri sendiri, dari kebingungan lalu kehilangan ingatan, dari kehilangan ingatan muncul kehancuran dari kebijaksanaan, dan dari kehancuran kebijaksanaan, ia akan hancur sendiri (I.B Mantra 1992; 36).

f. Matsarya

Matsarya, artinya dengki dan iri hati. Apabila tidak terkendali, seseorang akan mudah melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Sikap iri hati dan membenci pada diri seseorang disebabkan oleh pandangan yang dangkal dan sempit. Sifat iri hati dan membenci  mengakibatkan diri sengsara dan menderita dalam hidup ini. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan :

Ikang wwwang irsya ri padanya janma tumon masnya, rupanya,
wiryanya,  kasujanmanya,, sukhanya, kasubhaganya, kalemanya,
ya ta amuhara irsya iriya, ikang wwang mangkana kramanya, yatika
prasiddhaning sangsara ngaranya, karaket laranya tan patamban”

(Sarasamuscaya, 91)

Artinya:

Orang yang iri hati kepada sesama manusia, melihat emasnya, melihat wajahnya, melihat kelahiran yang utama, kesenangannya, keberuntungannya, dan keadaan yang terpuji, bila itu yang menyebabkan timbulnya iri hati, orang yang demikian itu sifatnya, sesungguhnya orang itu menderita namanya, terikat oleh derita yang tidak terobati.

Abhādhyāluh parasvesu
Neha nāmutra nandati,
Tasmādabhidhyā santyājyā sarvadābhāpsatā sukham.

Artinya:

Adalah orang yang tabiatnya menginginkan atau menghendaki milik orang lain, menaruh iri hati akan kebahagiaan orang lain; orang yang demikian tabiatnya, sekali-kali tidak akan mendapat kebahagiaan di dunia ini, ataupun di dunia yang lain; oleh karena itu patut ditinggalkan tabiat itu oleh orang yang ingin mengalami kebahagiaan abadi.

3. Akibat Prilaku Sad Ripu

a. Akibat Prilaku Kama

1. Tidak dapat hidup dengan tenang, dikarenakan memiliki keinginan diluar batas kemampuan.

2. Mudah terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak baik demi memenuhi keinginan.

3. Setelah meninggal, Atma akan msuk neraka. Hal itu tersurat dalam kitab Sarasamuscaya, yaitu:

Indriyāņyeva tat sarvam yat svarganarakāvubhau, nirgṛhī tanissṛşțāni
Svargaya narakāya ca.
Nyang pajara waneh, indriya ikang sinanggah swarganaraka,
Kramanya, yan kawaṣa kahṛtanya, ya ika sākṣāt swarga ngaranya,
Yapwan tan kawaṣa kahṛtanya sākṣāt naraka ika

(Sarasamuscaya 71).

Artinya:

Sesungguhnya surga adalah kesuksesan dalam pengendalian nafsu, sedangkan neraka adalah kegagalan dalam mengendalikan nafsu.

b. Akib at Prilaki Lobha

1. Dijauhi oleh orang lain karena bersikap lebih mementingkan diri sendiri.

2. Selalu merasa tidak puas karena tidak dapat mengendalikan sifat tamak.

3. Sifat rakus terhadap milik orang lain membuat lupa diri dan menjadi tidak bijaksana. Hal ini tersurat dalam Kitab Sarasamuscaya, sebagai berikut:

Jatasya hi kule mukhye paravitteṣu gṛhdyatah lobhasca prajñāmahanti prajñā hanti hatā ṣriyam.
Yadyapin kulaja ikang wwang, yan engine ring pradryabaharana, hilang kaprajnan ika dening kalobhanya, hilangning kaprajñānya, ya ta humilangkên ṣrīnya, halêp nya salwirning wibhawanya. (Sarasamuscaya 267)

Artinya:

Biarpun orang keturunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, hilanglah kearifannya karena kelobhaannya: apabila telah hilang kearifannya itu, itulah yang menghilangkan kemuliaannya dan seluruh kemegahannya.

4. Pada kehidupan yang akan datang akan miskin apabila mengambil kekayaan orang lain. Hal ini tersurat dalam Kitab Sarasamuscaya yaitu sebagai berikut:

Musnam daridratyabhihanyate ghnan pujyunamasampujya bhavatyapujyah, yat karmavijam vapate manusyah tasyanurupani phalani bhumkte.
Ikang akelit ring paradrwya nguni ring purwajanma, daridra janma nika ring dlaka, ikang amati nguni pinatyan ika dlaha, sangksepanya, salwining karma wija inipuk nguni,ya ika kabhukti phalanya dlaha. (Sarasamuscaya 360).

Artinya:

Yang menyerobot kepunyaan orang lain waktu hidupnya dahulu, dilahirkan menjadi orang miskin dikemudian hari; yang membunuh pada waktu hidupnya dahulu akan dibunuh dalam hidupnya kemudian; singkatny, semua benih perbuatan yang ditabur dan dibiakkan dahulu, buahnya itulah yang dinikmati kemudian.

5. Prilaku Lobha dapat menyebabkan kebodohan yang membuat hidup menjadi sengsara, dan sulit membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dalam Kitab Sarasamuscaya disebutkan:

Ajnāphrabhavaṁ hīdṁ yadduhkhmupalabhyate lobhādeva tadajñānamjñānallobha eva ca
Apan Ikang sukhadukha kabhukti, punggung sankanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, punggung sangkanika, matangyan punggung sangkaning sangsara (Sarasamuscaya 400).

Artinya:

Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan yang ditimbulkan oleh lobha, sedang loka (keinginan hati) itu kebodohan asalnya; oleh karena itu kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu.

c. Akibat Prilaku Krodha

1. Dijauhi oleh orang lain karena kita mudah marh dan berkata kasar.

2. Sulit bergaul dengan orang lain karena tidak mampu mengendalikan kemarahan.

3. Prilaku krodha dapat membuat kita menjadi sengsara. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan:

Na catravah kṣayam yānti yāvajjīvamapi ghnatah, krodham niyantuṁ yo veda tasya dveṣțā na vidyate
Katuhwan, apan yadyapi wenanga ikang wwang ri musuhnya, ta kawadhan patyana ṣatrunya, asing kakrodhanya, sadawāni huripnya tah yang tūtakêna gêlêngnya tuwi, yaya juga tan hêntya ni musuh nika, kunêng prasiddha ning tan pamusuh, sang wênang humrt krodhnira juga. (Sarasamuscaya 96)

Artinya:

Meskipun seseorang selalu menang dalam pertempuran, selalu mengalahkan musuh-musuhnya, jika ia tetap tertungkung dalam watak pemarahnya dan sering mengumbar amarahnya pada orang lain, mereka akan selalu kedatangan musuh-musuh baru; sedangkan bagi yang mampu mengekang nafsu amarahnya, tidak akan pernah ada musuh dalam hidupnya.

4. Persembahan kita kepada Sang Hyang Widhi akan sia-sia bila prilaku krodha tidak dapat dikendalikan. Dalam Kitaab Sarasamuscaya disebutkan:

Yat krodhano yajati yaddadāti yadvvā tapstapati yadjjuhoti,
Vaivasvatastaddharatyasa sarvaṁ vṛthā ṣramo bhavati krodhanasya
Apan ikang wwang kakawacā dening krodhanya, salwiring pinūjākenya, sāwakaning pawehnya dāna, salwiring tapanya, salwiring hinomākênya, ika ta kabeh bḥātara yama sia umalap phalanika, tanpaphala iriya, twas nghel, matangnyat kawaṣākêna tang krodha (Sarasamuscaya 102).

Artinya:

Ketahuilah bahwa orang yang dikuasai oleh kemarahan dan angkara murka apapun yang dipersembahkannya, apapun yang disumbang dan dipuniakannya, apapun jenis puasa dan pantangan yang dilakukannya, apapun yang dikurbankannya, semua itu menjadi tanpa pahala, mereka hanya mendapatkan rasa lelah yang dilakukannya, apapun yang dikurbankannya, semua itu menjadi tanpa pahala, mereka hanya mendapatkan rasa lelah dan kepayahan, oleh karenanya kuasailah kemarahan dan nafsu angkara itu.

d. Akibat Perilaku Mada

1. Prilaku Mada dapat menjerumuskan ke hal-hal yang negative, seperti minum-minuman keras dan angkuh.

2. Prilaku mada dapat membawa kita pada kehidupan yang melarat. Dalam Arjuna Wiwaha XXXV,7 pada saat itu Bhatara Indra memberi nasehat kepada Arjuna sebelum ia meninggalkan Kahyangan sebagai berikut: 

Lwambektanaku haywa tang wwang asalin manah i tekaning anugraha Kadyambekta rika n sedeng tapa jugambekta, tan alupa ring samadhita
Sang Yogiswara towi sang tumemu ng astaguna kajennekan pwa ring sukha
Yan tamtamana ng indriya puhara murdha patita niyata makal muwah

Artinya:

Perluaslah wawasan pemikiran ananda, jangan sampai ananda berganti haluan setelah mendapatkan anugerah.

Hendaklah pikiran ananda tetap sebagai waktu sedang bertapa dahulu, tidak pula sampai melupakan puja Samadhi.

Sebagai halnya pendeta besar, walaupun telah mencapai asta guna (delapan kebijaksanaan) namun hati beliau tetap gembira dalam kesederhanaan hidup sehari-hari.

Kalau nafsu yang memabukkan diumbar, akibatnya ananda akan jatuh ke derajat orang bodoh sehingga ananda harus mulai lagi dari permulaan.

e. Akibat Perilaku Moha

1. Perilaku moha membuat kita tidak punya kepercayaan diri sehingga selalu tergantung kepada orang lain.

2. Prilaku moha juga membuat hidup tidak bahagia, sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Sarasamuscaya sebagai berikut:

Dūragam bahudhāgāmi prāthanāsamṣ ayātmakam manah
suniyatama yasya sa sukhī pretya veha ca
Nihan ta kramaningkang manah, bhrānta lunghā swābhawanya, akweh inangênangênya, dadi prāthana, dadi sangsaya, pinakāwakya, hana pwa wwang’ikang wenang humṛt manah, sira tika manggêh amanggih sukha, mangke ring paraloka waneh. (Sarasamuscaya 81).

Artinya:

Keadaan pikiran itu demikianlah; tidak berketentuan jalannya, banyak yang dicita-citakan, terkadang berkeinginan, terkadang penuh kesangsian; demikianlah kenyataannya; jika ada orang yang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh kebahagiaan, baik dikehidupan sekarang maupun di dunia yang lain.

f. Akibat Perilaku Matsarya

1. Perilaku matsarya menyebabkan menjadi orang yang penuh dengki dan iri hati kepada orang lain.

2. Perilaku matsarya juga membuat kehidupan menjadi tidak tenang dan tidak nyaman. Dalam Kitab Sarasamuscaya disebutkan sebagai berikut:

Abhīdhyāluh parasvesu neha nāmutra nandati, tasmādabhidhyā santyājyā sarvadābhīpstā sukham.
Hana ta mangke kramanya,engine ring drbyaning len, madêngki ing suhkanya, ikang wwang mangkana, yatika pisaningun, têmwang sukha mangke, ring paraloka tuwi, matangyan aryakêna ika, sang mahyun langgêng anêmwang sukha. (Sarasamuscaya 88)

Artinya:

Adalah orang yang tabiatnya menginginkan atau menghendaki milik orang lain, menaruh dengki iri hati akan kebaahagiaannya; orang yang demikiaan tabiatnya, sekali-sekali tidak akan mendapat kebahagiaan di dunia ini, ataupun di dunia yang lain; oleh karena itu patut ditinggalkan tabiat itu oleh orang yang ingin mengalami kebahagiaan abadi.

4. Cara Mengendalikan Sad Ripu

a. Cara Mengendalikan Kama

Cara mengendalikan Kama misalnya sebagai berikut:

1. mengendalikan pikiran dan hawa nafsu. Pikiran yang tidak terkendali menjadi liar, pikiran menggerakkan perbuatan baik dan buruk. Dengan mengendalikan pikiran kita dapat membatasi diri dan senantiasa berperilaku menurut ajaran Dharma. Dalam Kitab Sarasamuscaya disebutkan:

Mritye janmanor’thāya jāyante maranāya ca, na dharmātam na kārmatham tṛṅāniva pṛthagjanāh.
Apan purih nikang prthagjana, tan dharma, tan kāma, kasiddha denya, nghing mātya donyan ahurip, doning patiya, nghing hanma muwah, ika tang pṛthagjana mangkana kramanya, tan hana patinya ide nika, tahā pih, tan hana pahinya lawan dukut, ring kapwa pāti doning jānmanya, janma doning pātinya. (Sarasamuscaya 46).

Artinya:

Sebab keadaan orang kebanyakan (orang yang belum mencapai tingkat filsafat) ia tidak mengerti akan hakikat dharma, serta tidak tahu bagaimana cara mengendalikan nafsu; yang dapat dicapainya hanyalah untuk mati tujuan mereka hidup, maksud matinya adalah hanya untuk lahir lagi; orang kebanyakan demikian keadaannya itu, bukan mati yang dipikirkanya, cobalah pikirkan, kehidupan serupa itu tiada bedanya dengan rumput yang mati untuk tumbuh kembali, dan tubuhnya hanya untuk menunggu matinya.

Manohi mūlam sarvesāmindrāyanam pravartate, ṣubhāśubhasvavashtāsu kāryam tat suvyavasthitam.
Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawṛtti ta ya ring śubhāśubhakarma, matangnyan ikang manah juga prihen kahṛtanya sakareng.(Sarasamuscaya 80).

Artinya:

Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik ataupun buruk; oleh karena itu pikirkanlah yang segera patut diusahakan pengekangannya atau pengendaliannya.

2. Mengutamakan kesabaran. Sifat sabar membuat kita mampu melawan keinginan yang tidak baik. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan:

Nātah ṣrīmattara kincidanyat pathyatara tathā prabhaviṣnorythā tātā kṣamā sarvatra sarpvadā.
Sangksepanya, kṣamā ikang paramārthaning pinakadrbya, pinaka mās mānik nika sang wênang lumage ṣaktining indriya, noralumewihana halepnya; anghing ya wekasning pathya, pathya ngaraning pathādānapêtah, tan panasar sangke mārga yukti, manggêh sādhana asing parana, tan apilih ring kāla.(Sarasamuscaya 93).

Artinya:

Kesimpulannya kesabaran hati itulah yang merupakan kekayaan yang utama; itu adalah sebagai emas dan permata orang yang mampu memerangi kekuatan hawa nafsunya, yang tidak ada melebihi kemuliaannya. Akan tetapi ia juga pada puncaknya pathya; pathya disebut patandanapeta, yang tidak sasar, sesat dari jalan yang benar, melainkan tetap selalu merupakan pedoman untuk mencapai setiap apa yang akan ditempuh sepanjang waktu.

b. Cara Mengendalikan Lobha

1. Dengan melaksanakan upawasa. Upawasa merupakan cara mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi/Tuhan. Kebanyakan orang berpikir bahwa uang dan harta adalah satu-satunya cara untuk mencapai kebahagiaan. Dengan serakah manusia berlomba mengumpulkan uang dan harta benda yang sebanyak-banyaknya. Sehingga tak jarang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Dharma, misalnya makan berlebihan, menipu,korupsi dan sebagainya. Dengan melakukan upawasa tindakan seperti itu dapat diminimalisir.

2. Melakukan dana punia. Dana punia merupakan pemberian yang baik dan suci serta dilakukan dengan tulus dan iklas. Dana punia yang bersifat “satvika” artinya dana punia yang didasari rasa tulus iklas, diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Dana punia dilaksanakan sesuai dengan kemampuan ,tidak boleh berlebihan hanya untuk tujuan pamer. Selain itu uang untuk dana punia diperoleh melalui jalan dharma.

c. Cara Mengendalikan Krodha

1. Selalu mengingat Sang Hyang Widhi

2. Melakukan Pranayama untuk menenangkan diri

3. Mengendalikan kata-kata atau diam

4. Pergi ketempat yang menyejukkan seperti merajan, pura, mata air atau melihat pemandangan alam yang indah.

5. Menenangkan diri dengan minum air putih

d. Cara Mengendalikan Mada

1. Menjauhi minuman keras

2. Menjauhi narkoba

3. Menghindari pergaulan dengan orang yang suka mabuk dan pengguna narkoba

4. Mematuhi nasehat yang disampaikan oleh Catur Guru.

5. Melaksanakan bratha upawasa pada hari-hari suci.

e. Cara Mengendalikan Moha

1. Melaksanakan Tri Sandya dan sembahyang setiap hari dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Sang Hyang widhi

2. Menenangkan pikiran melalui meditasi. Meditasi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.

f. Cara Mengendalikan Matsarya

1. Selalu besyukur kepada Sang Hyang Widhi atas segala anugerah-Nya.

2. Peduli, mengasihi dan menyayangi, mengasihi dan menyayangi sesame dengan tulus.

B. Memahami Sad Ripu Melalui Cerita

1. Contoh Kama Dalam Cerita

Rahwana Menculik Dewi Sita

Diceritakan raja yang memerintah di Alengka Pura yang bernama Raja Rahwana. Ia memiliki seorang adik yang bernama Surpanaka. Surpanaka menceritakan kecantikan seorang dewi  yang bernama Dewi Sita yang merupakan istri dari Sang Rama. Rahwana sangat tertarik dengan Dewi Sita. Akhirnya Rahwana perge kehutan Dandaka mencari Dewi Sita. Sebelum berangkat, Rahwana meminta tolong kepada Detya Marica. Pada mulanya Ditya Marica tidak mau menerima usul Raja Rahwana, karena mengikuti hawa nafsu hanya akan mendatangkan permusuhan dengan Sang Rama. Rahwana tidak mendengarkan nasehat tersebut. Rahwana menculik Dewi Sita dengan bantuan Detya Marica yang menyamar menjadi kijang mas. Setelah Dewi Sita diculik, terjadi perang antara Rahwana dengan Sang Rama yang dibantu oleh adiknya Sang Laksmana. Pada akhirnya matilah Sang Rahwana. Sang Rahwana meninggal karena sang raja selalu menuruti hawa nafsunya atau keinginannya. Setelah rahwana meninggal kerajaan alengka pura diperintah oleh Wibhisana.

Raja Santanu dan Dewi Gangga

Pada suatu hari yang indah, Raja Santanu bertemu dengan seorang Dewi di tepian sungai Gangga. Ia terpesona dengan kecantikan Dewi tersebut yang melebihi kecantikan manusia biasa. Sang raja berkeinginan intuk memperistri Sang Dewi, sang Dewi bersedia menerima pinangan Sang Raja dengan sarat Raja Santanu tidak boleh menanyakan siapa dia dan darimana asal-usulnya. Raja juga tidak boleh melarang atau marah atas apa yang diperbuat oleh Sang Dewi. Jika raja melanggar dan membuat Sang Dewi bersedih maka sat itu juga Sang Dewi akan pergi.

Raja Santanu menyanggupi syarat tersebut dan merekapun akhirnya menikah. Pada saat sang Dewi hendak melahirkan ia memohon untuk diantarkan ke tepi Sungai Gangga di sana ia melahirkan bayinya. Namun kejadian aneh terjadi saat bayinya lahir Dewi itu langsung membuangnya ke sungai Gangga. Raja Santanu hanya dapat menyaksikan itu tanpa bisa berkata-kata. Hal itu terjadi sampai tujuh kali, namun pada kelahiran yang kedelapan akhirnya Raja Santanu tak sanggup lagi untuk melihatnya ia mencegah Sang Dewi untuk membuang bayinya.

Tanpa disadari ia telah melanggar janjinya kepada Sang Dewi, maka sudah tiba saatnya Sang Dewi untuk pergi meninggalkan Raja Santanu. Sebelum pergi Sang Dewi menceritakan siapa sebenarnya dirinya. Ia adalah Dewi Gangga. Rsi Wasista telah menimpakan kutukan kepada delapan Wasu agar lahir ke bumi. Dewi Gangga telah menyanggupi untuk menjadi ibu bagi kedelapan Wasi tersebut, dan melahirkannya bersama Raja Santanu sebagai Ayahnya.

Anak yang kedelapan tidak jadi dibuang ke sungai Gangga tetapi dibawa pergi oleh Dewi Gangga. Bila sudah besar nanti akan diserahkan kembali kepada Raja Santanu. Anak tersebut akan dikenal sebagai Bhisma.

2. Contoh Lobha Dlam Cerita

Keserakahan Duryodana

Duryodana sangat berambisi ingin menjadi raja Kuru, padahal Yudistira dipandang lebih pantas duduk di atas singasana sebagai raja Kuru.

Untuk mewujudkan ambisinya, Duryodana menggunakan berbagai cara untuk menyingkirkan Yudistira dan para Pandawa. Namun usahanya selalu gagal, hal ini disebabkan karena pertolongan Widura dan Krishna yang selalu menyelamatkannya.

Dalam permainan dadu Kaurawa bermain dengan curang sehingga Pandawa kalah. Kekalahannya menyebabkan Pandawa harus meninggalkan kerajaannya untuk mengasingkan diri kedalam hutan selama 13 tahun.

Setelah pulang dari pengasingan Pandawa berhak meminta kembali kerajaannya akan tetapi Duryodana menolak permintaan Pandawa. Ketamakan dn keserakahan membuat Duryodana enggan mengembalikan kerajaan Pandawa.

Pandawa lalu meminta hanya lima desa saja akan tetapi Duryodana tetap menolaknya. Duryodana mengatakan bahwa ia tidak akan memberikan sejengkal tanahpun kepada Padawa. Hal itu akhirnya memicu perang besar Bharatayudha di Kuruksetra.

3. Contoh Krodha dalam Cerita

Kemarahan Raja Parikeshit

Pada suatu hari Raja Parikeshit dari kerajaan Kuru sedang berburu di hutan. Ia adalah putra Abimayu cucu dari Pandawa. Di hutan ia kehilngan jejak buruannya hingga tibalah ia di pertapaan Bagawan Samiti. Pada saat itu Bagawan Samiti sedang bertapa dan melakukan Mona Brata yaitu berpantang bicara. Raja Parikeshit menanyakan arah lari binatng buruannya kepada Sang Bagawan. Oleh karena beliau sedang bertapa maka beliau terdiam tidak dapat menjawab pertanyaan Raja Prikeshit. Hal ini membuat Raja Parikeshit murka, ia lalu mengambil bangkai ular dengan anak panahnya kemudian mengalungkannya di leher Bagawan Samiti.

Hal itu diketahui oleh Sang Srenggi putra dari Bagawan samiti. Sang Srenggi sangat mrah melihat ayahnya dikalungi bangkai ular yang sudah membusuk. Sang Srenggi pun mengutuk Rja Parikeshit agar mati digigit ular tujuh hari setelah kutukan itu diucapkan.

Mendengar kutukan itu, Bagawan Samiti sangat kecewa, bagaimanapun juga Raja parikesit sudah memberikan tempat tinggal dan perlindungan yang baik di wilayah kerajaan Kuru. Bagawan Samiti mengutus murudnya untuk menemui Raja Parikeshit dan memberitahukan prihal kutukan tersebut.

Raja Parikeshit merasa malu memohon agar kutukan itu dibatalkan ia lebih memilih untuk membuat perlindungan sendiri. Ia tinggal di dalam sebuah menara yang tinggi yang dijaga ketat oleh banyak prajurit,brahmana dan ahli bisa.

Kutukan Sang Srenggi dilakukan oleh Naga Taksaka. Karena penjagaan terlalu ketat, ia berubah wujud menjadi seekor ulat yang berada di dalam buah jambu yang akan dipersembahkan kepada Raja Parikeshit. Ketika Sang Raja Parikeshit hendak memakan buah jambu itu, ulat itu berubah menjadi naga Taksaka lalu menggigit leher Raja Parikeshit, beliau pun meninggal saat itu juga. dan kutukaan Bagawan Samiti jadi kenyataan.

4. Contoh Mada dalam Cerita

Kutukan Terhadap Duryodana

Pada suatu hari Rsi Maitreya mengunjungi Raja Dritarastra di Astina Pura. Raja sangat senang menerima kedatangannya, karena itu merupakan berkah baginya.

Raja Dritarastra menanyakan kabar Pandawa di hutan. Rsi Maitreya menyampaikan kabar bahwa Pandawa baik-baik saja. Sang Rsi justru terkejut ketika mengetahui Pandawa diasingkan ke hutan padahal masih ada raja Dritarastra dan Bhisma yang bisa mencegah hal itu agar tidak terjadi.

Raja Dritarastra hanya terdiam, kemudian Rsi Maitreya menasehati Duryodana agar tidak bermusuhan dengan Pandawa yang merupakaan saudara sepupunya.

Duryodana enggan mendengaar nasehat Rsi Maitreya, ia malah tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk pahanya kemudian meludah dengan angkuh.

Melihat tingkah Duryodana seperti itu Rsi Maitreya merasa terhina dengan marah ia mengutuk Duryodana bahwaa ia akan terbunuh dalam pertempuran karena pahanya akan terbelah menjadi dua karena tombak Bhima.

Menyaksikan hal itu raja Dritarastra segera menyembah Rsi Maitreya agar mencabut kutukannya. Rsi Maitreya pun mengatakan kutukan tersebut tidak akan berlaku jika Kaurawa mau berdamai dengan Pandawa. Setelah mengucapkan itu, Sang Rsi pun meninggalkan istana Raja Dritarastra.

5. Contoh Moha Dalam Cerita

Kebingungan Arjuna Menjelang Perang Bharatayudha

Ribuan pasukan Paandawa dan Kaurawa sudah saling berhadap-hadapan dan siap bertempur. Arjuna meminta Krishna untuk membawa keretanya berada di antara kedua pasukan tersebut. Dengan demikian Arjuna dapat dengan leluasa melihat wajah para ksatriya yang ikut ambil bagian dalam perang besar itu. Disanalah ia melihat teman-temannya, paman, kakek, guru dan saudara-saudaranya berada diantara mereka.

Hati Arjuna sangat kecut dan sedih  menyaksikan sanak keluarganya akan saling membunuh satu sama lain. Arjuna terduduk lemas hatinya diliputi kebimbangan dan kebingungan.

Melihaat haal itu Krishna tergerak untuk menyadarkan Arjuna. Krishna memberikan wejangan kepada Arjuna untuk menghilangkan kebingungan dan kebimbangan hatinya. Wejangan tersebut dikenal sebaagai Bhagavad Gita.

6. Contoh Matsarya Dalam Cerita

Terbunuhnya Sisupala

Pandawa mengundang para raja untuk menyaksikan upcara Rajasuya yaitu upacara penobatan gelar Maharajadiraja kepada Yudistira. Sesuai tradisi dalam upacara Rajasuya harus memberikan penghormatan yang utama kepada salah satu tamu atau raja yang paaling layak menerimanya. Kemudian tamu-tamu lain akan menerima penghormatan sesuai keagungan, kekuasaan, dan kebijaksanaan masing-masing.

Dalam musyawaarah Yudistira dan Bhisma memilih Krishna untuk mendapatkan penghormatan utama itu. Para peserta musyawarah setuju akan tetapi raja Cedi yang bernama Sisupaala menolak keputusan tersebut. Sisupala beranggapan bahwa Krishna tidak layak untuk mendapatkan kehormatan itu, ia mengatakan bhwa masih banyak para ada kesatria yang lebih pantas untuk itu.

Dengan kebencian yang membara Sisupala menghina Krishna. Krisna tidak terima dihina dan dipermalukan di depan para tamu undangan. Mereka pun bertarung. Dalam pertarungan, Sisupala tewas.

Akhirnya upaacara Rajasuya berjalaan meriah. Dalam upacara itu Krishnya mendapat  penghormatan yang utama dan Yudistira pun diberi gelar Maharajadiraja.

5. Tri Rna

A. Mengenal Tri Rna

1. Pengertian Tri Rna

Setiap manusia memiliki hutang yang di bawa sejak lahir. Agama kita menyebutnya dengan “Tri Rna”.

Kata Tri Rna berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “Tri” artinya tiga dan “Rna” artinya hutang. Jadi yang dimaksud dengan Tri Rna adalah tiga hutang yang di bawa manusia sejak lahir ke dunia. Hutang tersebut yaitu: Dewa Rna, Pitra Rna dan Rsi Rna. Dalam Kitab Manawa Dharmasastra disebutkan sebagai berikut:

Rinani trinyapakritya manomok-
Se niwecayet
Anapakritya moksam tu sewama-
No wrajatyadhah

(Manawa Dharmasastra VI.35)

Artinya:

Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya ( kepada Tuhan, kepada Leluhur dan kepada Orangtua), hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk memcapai kebebasan terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir itu tanpa menyelesaikan tiga macam hutangnya akan tenggelam ke bawah. 

2. Bagian-Bagian Tri Rna

a. Dewa Rna

Dewa Rna yaitu hutang kepada Sang Hyang Widhi yang telah menciptakan kita, menciptakan alam semesta beserta isinya. Dalam Kitab Bhagavad Gita disebutkan:

sahayajñāḥ prajāḥ sṛṣțvā
purovācaa prajāpatiḥ
anena prasaviṣhya dhvam
eṣa vo ‘stv iṣța kāmadhuk

Artinya:

Dahulu kala Sang Hyang widhi (Prajapati) menciptakan manusia dengan jalan yajna, dan bersabda: “Dengan ini (yajna) engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan (kamadhuk) sesuai dengan keinginanmu”.

Dengan demikian manusia yang merupakan Ciptaan Sang Hyang Widhi mempunyai hutang kepada-Nya. Hutang itu adalah hutang urip atau nyama dan tempat tinggal.

b. Rsi Rna

Rsi Rna adalah hutang kepada para Rsi. Jnana Sankalini Tantra, 94 menyebutkan:

Ekamapyâksharam yastu guruh sisyât prabhodhayet
Prthivyâm nâsti tat dravyam yat dattvâ amim bhavet

Artinya:

Meski satu huruf pun pengetahuan yang diberikan kepada murid oleh seorang guru itu tak ternilai hrganya, dan tidak ada apa pun yang ada di seluruh dunia yang mampu membayarnya. 

Berdasarkan sloka di atas Rsi atau guru telah mendedikasikan hidupnya dengn memberi pencerahan kepada manusia melalui jaran-ajarannya. Tujuannya agar manusia dapat hidup dengan lebih baik.

c. Pitra Rna

Pitra Rna adalah hutang kepada orang tua dan leluhur. Menurut kakawin Nitisastra, ada lima hutang kepada leluhur dan orang tua yang disebut “Panca wida” yaitu:

Panca Wida

1. Matulung Urip rikalaning baya, artinya menolong tatkala menghadapi bahaya.
2. Sang Maweh Binojana, artinya orang yang memberikan makan.
3. Sang Mangupadyaya, artinya orang yang memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4. Sang Menyangaskara, artinya orang yang menyucikan dan mengupacarai.
5. Sang Ametuaken, artinya orang yang menyebabkan lahir.

Menurut Kitab Sarasamuscaya, ada tiga hutang kepada orang tua yaitu:

1. Anadatha, yaitu orang yang memberikan makan
2. Pranadatha, yaitu orang memberi hidup atau jiwa
3. Sarira Krta, yaitu orang yang membangun dan membentuk badan jasmani.

Dalam Kitab Taittiriya Upanisad disebutkan:

Matri Deva bhava, pitri deva bhava, athiti deva bhava

Artinya:

Ibu, ayah, pandita dan tamu adalah Dewa. Dewa adalah sinar suci dalam kelurga.

Berdasarkan sloka di atas bahwa orang tua dan leluhur memiliki kedudukan yang mulia. Mereka berperan penting dalam kehidupan kita. Karma leluhur dan orang tua berpengaruh terhadap keberadaan setiap orng. Oleh karena itu setiap Umat Hindu wajib menghormati dan berbhakti kepada orang tua masing-masing.

B. Memahami Tri Rna Melalui Cerita

1. Cerita Tentang Dewa Rna

Budhi sadar bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang tertinggi karena memiliki Tri Pramana yaitu Sabda, bayu dan idep yakni kemampuan untuk berbicara, bergerak dan berpikir. Dengan pikiran manusia bisa berbuat lebih banyak. Maka dari itu manusia harus bersyukur telah diciptakan sebagai manusia. Dengan jalan puja bhakti atau sembahyang kehdapan Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa.

Sejak kecil Budhi diajari untuk bersyukur dengan Puja Bhakti kepada Sang Hyang Widhi melalui sembahyang. Budhi rajin sembahyang di Sanggah Kamulan di rumahnya. Setiap rerahinan Budhi bersama orang tuanya akan sembahyang ke Pura Dadya atau pura yang ada di dekat lingkungan tempat tinggalnya. Di hari-hari tertentu Budhi selalu menyempatkan diri untuk sembahyang di Kahyangan tiga atau pura-pura lainnya.

Kini budhi sudah semakin dewasaa, ia menjadi sangat yakin bahwa dengan semkin dekat kepada Sang Hyang Widhi maka kesejahteraan dan kebahaagiaanpun akan semakin dekat.

Kini ia Sudah berumah tangga tidak hanya sembahyang tetapi ia juga kerap melakukan yajna. Karena dengan yajna hidup ini tidak akan sia-sia. Ia semakin yakin bahwa dengan yajna jawaban akan kehidupan ini semakin ia mengerti.

2. Cerita Tentang Rsi Rna

Bhima adalah anak yang berbhakti.  Ia sangat patuh terhadap perintah gurunya. Pada suatu hari ia diutus oleh gurunya yakni Guru Drona untuk mencari “Tirtha Prawidhi” atau air suci kehidupan. Sebagai murid yang berbhakti ia pun pamit untuk mencari Tirta Prawidhi yang dimaksud.

Bhima menjelajahi hutan rimba, gunung, lembah-lembah dan gua-gua ia datangi. Berbagai binatang buas juga jin dan setan ia jumpai namun semua dapat ia kalahkan. Kemudian dia bertemu dengan dua raksasa sakti yang bernama Rukmukha dan Rukmakhala. Mereka pun bertarung, dalam pertarungan itu kedua raksasa tersebut dapat dikalahkan oleh Bhima. Kedua raksasa tersebut menjelma menjadi Bhatara Indra dan Bhtara Bayu. Bhatara Indra menghadiahkan mantra Jalasengara sedangkan Bhatara Bayu menghadiahkan satu ikat pinggang sakti.

Kemudian Bhima melanjutkan perjalanan ke hutan Palasara. Di dalam hutan itu terdapat telaga Gumuling yang dihuni oleh Naga Anantaboga. Bhima mengira Tirtha Prawidhi berada di dalam telaga tersebut. Bhima dihadang oleh Naga Anantaboga maka pertarunganpun terjadi dan Naga Anantaboga dapat dikalahkan oleh Bhima. Naga tersebut merupakan penjelmaan dari Dewi Maheswari. Dewi Maheswari memberi tahu Bhimaa bahwa Tirtha Prawidhi itu berada di dasar samudra raya.

Bhima melanjutkan perjalanan menuju dasar samudra raya. Disana ia dihadang oleh Naga Nawatnawa. Dalam pertarungan Naga Nawatnawa dpat dikalahkan oleh Bhima. Namun setelah mengalahkan Naga Nawatnawa, Bhima kelelahan. Ia akhirnya ditolong oleh Dewa Ruci. Bhima mendapat pelajaran dari Dewa Ruci mengenai hakekat manusia dan alam semesta. Saat itulah Bhima sadar bahwa ia telah menemukan Tirtha Prawidhi. Dalam hal ini, Tirtha Prawidhi melambangkan hakikat diri dan alam semesta. Demikianlah Bhima telah berhasil menunjukkan bhakti kepaada gurunya,Drona.

3. Cerita Tentang Pitra Rna

Sang Jaratkaru

Tersebutlah seorang pertapa yang sangat sakti bernama Sang Jaratkaru. Sang Jaratkaru memiliki budi pekerti yang baik. Setiap hari Sang Jaratkaru mengumpulkan biji-biji padi yang berserakan di jalan. Butir-butir padi itu kemudian dicuci, dimasak lalu dipersembahkan kepada Para Dewa.

Sang Jaratkaru mengaabdikan hidupnya untuk bertapa dan memuja Para Dewa. Karena rajin bertapa maka ia dapat menguasai berbagai macam mantra. Ia dapat memasuki tempat-tempat yang ia kehendaki.

Pada suatu hari Sang Jaratkaaru mengunjungi Ayatanasthana yang berada diantara dunia Surga dan dunia Neraka. Di tempat tersebut para Atma menunggu keputusan pengadilan akhirat apakah nanti masuk surga atau masuk neraka.

Tanpa sengaja ia melihat seorang Atma yang tergantung di buluh petung. Kondisinya sangat  memperihatinkan. Kepalanya terayun di bawah dan kakinyaa terikat di atas menggelayut di ujung buluh petung.  Di bawahnya terdapat jurang neraka. Di pinggir jurang  tampak seekor tikus besar sedang mengerat pangkal buluh petung tersebut. Jika petung itu sampai patah maka atma tersebut akan langsung jatuh ke jurang neraka.

Merasa kasian, Sang Jaratkaru bertanya kepada atma itu prihal kenapa ia sampai dalam kondisi seperti itu. Atma tersebut kemudiaan menceritakan bahwa hal itu terjadi karena keturunannya putus. Lanjutnya, bahwa ia mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, akan tetapi tidak mau menikah dan memutuskan untuk menjadi seorng Brahmacari.

Mendengar pengakuan Atma tersebut Sang Jaratkaru terperanjat, karena ternyata atma malang yang ditemuinya itu adalah leluhurnya. Atma itu melanjutkan kembali ucapannya, “jika engkau berbelas kasih kepada saya, pintakan kepada Sang Jaratkaru supaya menikah dan mempunyai keturunan. Dengan demikian saya akan terbebas dari hukuman ini dan dapat kembali pulang ketempat para leluhur.”

Mendengar apa yang disampaikan oleh atma tersebut, Sang Jagatkaru menjadi sedih. Kemudian dia mengatakan kepada Atma tersebut bahwa ia adalah Jaratkaru yang dimaksud. Ia adalah keturunannya. Dan  Atma tersebut adalah leluhurnya. Sang Jaratkaru bejanji untu menikah dan mempunyai keturunan agar leluhurnya terbebas dari hukuman dan tidak terjatuh ke neraka. Tetapi Sang Jaratkaru mau menikah asalkan calon istrinya mempunyai nama yang sama dengan dirinya.

Mencari nama istri yang sama dengan dirinya tidklah mudah ia harus memohon kepada Yang Maha Kuasa agar menemukan istri yang didambakannya. Permohonan Sang Jaratkaru rupanya didengar oleh Sang Naga Basuki. Naga Basuki mempunyai adik yang bernama Jaratkaru. Naga Basuki memberikan adiknya untuk dijadikan istri. Maka kedua Jaratkaru itu pun menikah dan mempunyai anak yang bernama Sang Astika.

Dengan lahirnya Sang Astika membuat Atma leluhurnya tidak lagi tergantung di buluh petung sehingga leluhurnya tersebut tidak jatuh ke neraaka. Demikianlah Sang Jaratkaru membayar hutang kepada leluhurnya agar terbebas dari penderitaan.

C. Hubungan Antara Tri Rna dengan Panca Yadnya

Kata Yajna beraasal dari bahsa Sanskerta yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban. Menurut Kitab Bhagavad Gita, yajna merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh ketulusan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan.

Yajna juga berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan korban suci harus dilandasi pikiran dan sikap yang suci yang tulus daan iklas. Dalam Kitab Atharwa Weda disebutkan:

Satyaṁ bṛhadṛtamugraṁ dīkṣā tapo brahma yajñaḥ pṛthivīṁ dhārayanti,
Sā no bhūtasya bhavyasya patnyuruṁ lokaṁ pṛthivī naḥ kṛņotu (Atharwa Weda XII.I.I)

Artinya:

Kebenaran, kejujuran yang agung, hukum-hukum alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri, tapa (pengekangan diri), pengetahuan persembahan (yajna) yang menopang bumi.

Berdasaarkan dari seloka tersebut di atas, yajna merupakan salah satu penopang bumi. Oleh karena itu kita harus terus memelihra kehidupan di dunia dengan terus melaksanakan yajna.

Menurut kitab Agastya Parwa, Panca Yadnya terdiri dari :

  1. Dewa Yajna
  2. Rsi Yajna
  3. Pitra Yajna
  4. Manusa Yajna
  5. Bhuta Yajna

Pelaksanaan Panca Yajna merupakan cara untuk membayar Rna atau hutang. Hubungan antara Tri Rna dengan Panca Yajna adalah sebagai berikut:

1. Dewa Rna yaitu hutang kepada Sang Hyang Widhi/Tuhan dapt ditebus dengan:

  • a. Dewa Yajna adalah korban suci yang ditunjukkan kepada Sang Hyang Widhi beserta Para Dewa.
  • b. Bhuta Yajna yaitu korban suci yang bertujuan sebagai berikut:
    • 1. Menyucikan alam beserta isinya dari pengaruh atau gangguan paraa bhutakala dan mahluk lain yang lebih rendah dari manusia.
    • 2. Menyucikan bhutakala dan mahluk yang lebih rendah dari manusia dengan cara menghilangkan sifat-sifat buruknya. Sehingga dengan demikian mahluk-mahluk tersebut dapat memberikan kesejahteraan bagi manusia dan bagi alam.

2. Pitra Rna yaitu hutang kepada leluhur dan orang tua. Hutang ini dapat ditebus dengan melakukan:

  • a. Pitra Yajna yaitu korban suci yang tulus iklas bagi para leluhur dan orang tua. Pitra Yajna wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada leluhur dan orang tua. Tampa leluhur dan orang tua kita tidak mungkin lahir ke dunia, oleh sebab itu utang itu harus kita bayar dengan melaksanakan upacara Pitra Yajna.
  • b. Manusia Yajna yaitu korban suci yang dilaksanakan demi kesempurnaan hidup manusia. Yajna ini bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan manusia secara jasmani dan rohani sejak dalam kandungan hingga meninggal. Pembersihan secara jasmani dan rohani sangat penting agar manusia dapat menerima petunjuk suci Sang Hyang Widhi.  Sehingga manusia dapat berbuat baik selama hidupnya.Demikian juga pada kehidupan berikutnya lahir sebagai manusia yang lebih baik.

3. Rsi Rna yaitu hutang kepada para Rsi atau orang suci. Hutang ini dapat ditebus dengaan melakukan Rsi Yajna, yaitu korbn suci atau persembahan yang tulus iklas kepada para Rsi atau orang suci.

 

Sumber : Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti untuk SD Kelas VI (Kreatif)

Bahan Ajar Agama Hindu KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) Sd Kelas VI

CADHU SAKTI

Pengertian Cadhu Sakti

Cadhu Sakti terdiri dari dua kata yaitu; kata “Cadhu” dan “Sakti”.  Cadhu saama  artinya dengan kata ”Catur” yang berarti empat. Sedangkan Sakti  berati kesaktian, kekuatan, kehebatan, kemahakuasaan. Jadi Cadhu Sakti  berarti empat kesaktian atau kekuatan atau kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi.

Bagian-bagian Cadhu Sakti

Cadhu Sakti terdiri dari empat bagian, yaitu:

1. Wibhu Sakti,
2. Prabhu Sakti,
3. Jnana Sakti ,dan
4. Krya Sakti.

Pengertian bagian-bagian Cadhu Sakti

1. Wibhu Sakti : adalah sifat Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Maha Ada, meresap memenuhi Bhuana atau Wyapi Wyapaka/berada dimana-mana, tiada tempat yang tidak dipenuhi oleh wujud-Nya. Wyapi Wyapaka Nirwikara artinya selalu ada di mana-mana tidak terpengaruh dan tidak berubah. Eko Dewah Sarwa Bhutesu Cittah artinya Sang Hyang Widhi Tunggal namun terasa pada seluruh ciptaan-Nya. Sarwam Idham Khalu Brahman  artinya segala sesuatu di dunia ini berasal dari Ida Sang Hyang Widhi dan pada waktu tertentu akan kembali ke asalnya yaitu Tuhan itu sendiri.

2 . Prabhu Sakti. Prabhu : artinya Raja. Ida Sang Hyang Widhi adalah Rajadiraja. Prabhu Sakti berarti sifat Ida Sang Hyang Widhi Maha Raja atau Maha Kuasa, menguasai alam semesta sebagai pencipta (Utpti), pemelihara (Sthiti) dan pelebur (Pralina)  atas ciptaan-Nya.

3. Jnana Sakti: adalah sifat Ida Sang Hyang Widhi Maha Tahu. Ida Sang Hyang Widhi mengetahui segala kejadian dan segala yang ada di alam baik yang nyata/kelihatan maupun yang tidak nyata. Tuhan mampu mengetahui kejadian masa lampau (Atita), kejadian sekarang (Nagata) dan mampu mengetahui kejadian yang akan datang ( Wartamana), Karena Tuhan memiliki Tiga Kemampuan yang yang serba tembus, meliputi:

  • a. Dura Adnyana/Dura Sarwajnana, yaitu Tuhan berpengetahuan serba tembus,
  • b. Dura Srawana, artinya Tuhan memiliki pendengaran tembus yaitu mampu mendengar suara baik yang dekat maupun yang jauh, dan
  • c. Dura Darsana yaitu, Tuhan penglihatan serba tembus artinya Tuhan mampu melihat kejadian dahulu, sekarang dan yang akan datang.

4. Krya Sakti: artinya sifat Ida Sang Hyang Widhi sebagai Maha Karya. Sang Hyang Widhi dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya.Ida Sang Hyang Widhi menciptakan alam ini dengan Kemahakuasaan-Nya dan kembali kepada-Nya pada saat Pralaya (kiamat). Sebelum dunia ini di ciptakan pada mulanya adalah kosong tidak ada apa-apa (duk tan hana paran-paran) yang ada hanya Ida Sang Hyang Widhi. Sebenarnya setiap saat terjadi penciptaan dan peleburan (pralina). Ida Sang Hyang Widhi tidak pernah berhenti bekerja.

Contoh Kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi dalam Cadhu Sakti

1. Wibhu Sakti: adalah sifat Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Maha Ada, meresap memenuhi Bhuana atau Wyapi Wyapaka/berada dimana-mana, tiada tempat yang tidak dipenuhi oleh wujud-Nya.

 Contohnya:

a. Matahari selalu bersinar,
b. Bintang dan bulan selalu bersinar,
c. Tuhan ada pada air,
d. Tuhan ada pada setiap makhluk

2. Prabhu Sakti: berarti sifat Ida Sang Hyang Widhi Maha Raja atau Maha Kuasa, menguasai alam semesta sebagai; pencipta (Utpti), pemelihara (Sthiti) dan pelebur (Pralina) atas ciptaan-Nya.

 Contohnya:

a. Matahari selalu terbit dari Timur dan tenggelam di Barat.
b. Adanya siang dan malam.
c. Adanya kelahiran, kehidupan dan kematian.
d. Adanya kesembuhan .
e. Adanya Penyakit, .
f. Seorang dokter pintar mengobati orang sakit, tetapi dia tidak kuasa menahan hukuman Tuhan pada akhirnya ia akan mati.
g. Betapa  cerdasnya otak manusia yang membidangi meteorologi dan geofisika untuk mendeteksi bencana alam seperti gempa, tsunami, gunung meletus, tetapi bila Hyang Widhi berkehendak manusia tidak dapat menghindari dan menolaknya.

3. Jnana Sakti : adalah sifat Ida Sang Hyang Widhi Wasa Maha Tahu. Ida Sang Hyang Widhi mengetahui segala kejadian dan segala yang ada di alam baik yang nyata/kelihatan maupun yang tidak nyata.

Contoh-contohnya:

  • -Ketika seseorang akan meninggal tidak pada waktunya biasanya akan menampakkan tanda-tanda seperti firasat. Firasat yang ditunjukkan itu adalah tanda-tanda yang diperlihatkan Tuhan kepada manusia.
  • -Sang Hyang Widhi mengetahui apa yang akan terjadi .
  • -Tuhan lebih tahu tentang nasib ciptaan-Nya sendiri.

4. Krya Sakti : adalah sifat Ida Sang Hyang Widhi sebagai Maha Karya. Sang Hyang Widhi dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya,

contohnya:

  • -Sang Hyang Widhi menciptakan keindahan alam
  • -Ida Sang Hyang Widhi dapat menggerakkan matahari, bumi, bintang dan planet-planetnya,
  • -Ida Sang Hnyang Widhi menciptakan segalanya, dan segala ciptaanya pasti berguna.

Sejarah Perkembangan Agama Hindu

Sejarah Agama Hindu sebelum Kemerdekaan

Abad ke-4 atau sekitar tahun 400 sudah berkembang agama Hindu yaitu di Kutai  tepatnya ditepi sungai Mahakam dengan bukti diketemukannya 7 buah Yupa dengan nama Kerajaan Kutai. Yang menjadi rajanya pertama kali adalah Kudungga yang memiliki putra bernama Aswawarman. Aswawarman selanjutnya berputra Mulawarman. Mulawarmanlah yang menjadikan Kerajaan Kutai menjadi sangat terkenal.

Pada abad ke-5 atau sekitar tahun 500 Masehi perkembangan agama Hindu di Indonesia berkembang ke Pulau Jawa yakni di Jawa Barat dengan munculnya Kerajaan Taruma Negara dengan rajanya yang sangat terkenal bernama Purnawarman. Raja Purnawarman adalah raja yang sangat gagah berani bagaikan Dewa Wisnu.

Abad Ketujuh ( 7 )  atau sekitar tahun 700 Masehi, perkembangan agama Hindu muncul di Jawa Tengah yakni Kerajaan Mataram dengan rajanya yang beragama Hindu bernama Raja Sanjaya. Raja Sanjaya pada masa pemerintahannya memuja Dewa Tri Murti.

Agama Hindu terus berkembang. Pada pertengahan abad ke delapan atau sekitar tahun 750 Masehi , Agama Hindu berkembang di Jawa Timur dengan munculnya Kerajaan Kanjuruhan dengan Rajanya bernama Dewa Simha yang memuja Dewa Siwa. Selanjutnya berkembang lagi di Jawa Timur dengan munculnya sebuah kerajaan yang menjadi cikal bakal agama Hindu di Bali yaitu Kerajaan Majapahit. Kejayaan Majapahit dibuktikan dengan bersatunya Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Rajanya yang sangat terkenal adalah Hayam Wuruk dengan Maha Patihnya bernama Maha Patih Gajah Mada. Gajah Madalah yang bersumpah untuk menyatukan Nusantara dengan sumpahnya yang bernama Sumpah Palapa. Namun akhirnya pada tahun 1400  (sirna hilang kertaning gumi)  runtuhlah kerajaan Majapahit karena masuknya pengaruh Islam ke Majapahit.

Perkembangan selanjutnya setelah runtuhnya Majapahit oleh pengaruh Islam, sebagian masyarakat Majapahit ada yang mengungsi ke daerah Tengger dan ke Bali. Di Bali pada abad ke-8 agama Hindu berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya Prasasti Blanjong di daerah Sanur yang mana isi Prasasti Blanjong menyebutkan bahwa pusat pemerintahan kerajaan yang beragama Hindu berpusat di Singhamandawa dengan rajanya bergelar Sri Kesari Warmadewa.  Perkembangan agama Hindu semakin pesat di Bali sampai sekarang.

Sejarah Perkembangan Agama Hindu Menjelang Kemerdekaan Indonesia

Menjelang kemerdekaan Indonesia perkembangan agama Hindu lebih pesat atau sebagian besar perkembangannya di Pulau Bali. Berkembangnya agama Hindu di Bali diawali dari kedatangan Dang Hyang Markandeya, Mpu Kuturan, Dang Hyang Nirartha. Pada masa sebelum kemerdekaan, di Bali masih diperintah oleh Raja-raja seperti ada kerajaan Karangasem, Kerajaan Kelungkung, Kerajaan Gianyar, Kerajaan Badung, Kerajaan Denpasar, Kerajaan Tabanan, Kerajaan Jembrana, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Pada masa itu setiap Raja selalu didampingi oleh seorang pendeta istana yang dinamakan Purohita.  Oleh purohita inilah kehidupan beragama Hindu di setiap kerajaan diperhatikan.

Perkembangan selanjutnya karena Bali masih menjadi Jajahan Belanda pada masa itu, Belanda banyak mendirikan sekolah di Bali. Lalu mendirikan organisasi-organisasi yang bernuansakan Hindu seperti:

a. di Gianyar ada oranisasi yang bernama Sara Poestaka,
b. di Singaraja/Buleleng ada perkumpulan yang bernam Surya Kanta dan Suita Gama Tirtha,
c. di Kelungkung juga berdiri organisasi yang bernuansakan agama Hindu bernama Catur Wangsa Dirga Gama Hindu Bali,
d. di Denpasar berkembang juga organisasi yang bernuansakan agama Hindu bernama Bali Dharma Laksana.
e. Di tahun 1939 pemerintah menggalakkan program Bali Sering dengan tujuan menjaga kehidupan Agama Hindu dan Budaya Bali dari pengaruh budaya dan kepercayaan di luar Bali.

Perkembangan  Agama Hindu Setelah Kemerdekaan

Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Proklamator kita yaitu Soekerno dan Muhhamad Hatta. Dengan merdekanya negara kita maka negara mulai mengatur kehidupan bernegaranya sendiri termasuk menata kehidupan beragama. Salah satu yang diatur keseragamannya adalah tentang perayaan Nyepi yang sebelum Kemerdekaan terdapat perbedaan pelaksanaan dikarenakan masing-masing kerajaan mengatur pelaksanaan perayaan Nyepi.

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan selanjutnya pada tanggal 3 januari 1946 berdiri sebuah Departemen yang khusus mengatur, menata dan mengayomi kehidupan beragama bernama Departemen Agama. Namun pada tahun tersebut Agama Hindu belum diakui sebagai sebuah agama yang resmi di Indonesia. Agama Hindu di Bali terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan, sampai akhirnya di Bali dibentuk Dinas Agama Otonom Daerah Bali. Agama Hindu baru bisa diakui oleh Pemerintah Indonesia secara Nasional pada tahun 1963 atau 18 tahun dari sejak Indonesia merdeka dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 100 tahun 1962.

Sebelum diakui sebagai Agama Resmi secara Nasional di Indonesia ada usaha-usaha untuk mendapat pengakuan diantaranya:

Pada tanggal 21 sampai 23 Februari 1959 diadakan pertemuan agung  (mahasabha) di gedung Fakultas Sastra Universitas Udayana oleh Pejabat Pemerintah Privinsi dan Kabupaten, Kepala Kantor Kabupaten, serta Pimpinan Organisasi dan Yayasan yang bercorak kehinduan  dengan menghasilkan sebuah keputusan/kesepakatan membentuk suatu Dewan yang diberi nama Parisadha Hindu Dharma Bali. Atas keputusan itu, dibuatlah Akte Pendirian Parisadha Hindu Dharma Bali dengan Akte Notaris no. 50 tanggal 4 September 1959. Pada awal pendiriannya susunan pengurusnya terdiri dari 11 orang sulinggih dan 22 orang paruman walaka dengan tugas mengatur, memupuk dan mengembangkan kehidupan beragama di Bali. Adapun susunan pengurus hariannya adalah:

  • - Ketua : Ida Pedanda Wayan Sidemen
  • - Wakil Ketua : I Gusti Bagus Oka
  • - Sekretaris : DR. Ida Bagus Mantra

Pada tanggal 4 Juli 1959 atas dukungan Yayasan Dwijendra maka didirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Bali (PGAH Bali) sampai akhirnya dirubah statusnya menjadi sekolah Negeri oleh Pemerintah pada tahun 1968. Tujuan didirikannya PGAH adalah untuk mendidik generasi muda Hindu Bali untuk menjadi guru agama Hindu yang nantinya bertugas di sekolah-sekolah di Bali.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 1959 diadakan Pesamuhan Agung I Parisadha Hindu Dharma Bali yang bertempat di SMP Dwijendara Denpasar. Hasil dari Mahasabha I tersebut menghasilkan beberapa hasil seperti: menerbitkan buku Agama Hindu untuk sekolah-sekolah di Bali yang berjudul Dharma Prawerti Sastra yang memuat tentang ajaran Widhi Tatwa, Atma Tattwa, Karmaphala Tattwa, Samsara Tattwa dan Moksa Tattwa serta pengertian tentang Dharma.

Pada tanggal 19 Maret 1960 diadakan Pesamuhan Agung II yang dilaksanakan di Balai Masyarakat Kota Denpasar. Dengan keputusan tentang pelaksanaan Hari Raya Nyepi ( tahun Baru Saka) secara serempak, Busana Sulinggih (pendeta )serta pemakaian buku pelajaran agama terbitan Parisada. Dan pada tahun yang sama di Denpasar juga dilaksanakan Pasamuan Agung III dan IV.

Pada tanggal 21 Oktober 1961 dilaksanakan Pesamuan Agung V bertempat di SMP Dwijendra Denpasar. Hasil dari Pesamuan Agung V adalah rencana melaksanakan Karya Agung Eka Dasa Rudra yang akan dilaksanakan tahun 1963.

Akhirnya pada tanggal 17 -  23 Nopember 1961 Pesamuan Agung diselenggarakan di Campuahan Ubud Kabuapten Gianyar tepatnya di Pura Gunung Lebah. Yang dibahas dalam Pesamuan Agung di Campuahan Ubud adalah tentang pengasraman para Pendeta/Sulinggih yang disebut Dharma Asrama. Dan hasil yang terpenting dari Pesamuan Agung Campuan Ubud adalah Piagam Campuhan Ubud yang berisi tentang keputusan penting bagi perkembangan agama Hindu selanjutnya.

Isi Piagam Campuan Ubud:

1.Mengenai Dharma Agama yang terdiri dari 10 butir meliputi tentang :

a. Pengakuan Weda Sruti sebagai inti ajaranAgama Hindu
b. Dharma Sastra Smerti sebagai ajaran Susila.
c. Tentang pendirian Perguruan Tinggi Agama,
d. Pendirian Padmasana atau Sanggar Agung pada setiap Kahyangan Tiga sebagai Stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
e. Tentang dasar Pengalantaka,
f. Tentang pelaksanaan Pitra Yadnya,
g. Tentang Metatah,
h. Tentang Cuntaka, dll.

2. Mengenai Dharma Negara yang terdiri dari 7 butir  meliputi tentang:

a. kemerdekaan,
b. percobaan senjata nuklir,
c. menjungjung tinggi Pancasila,
d. memperjuangkan agama Hindu agar menjadi bagian dari Departemen Agama,
e. memupuk semangat gotong royong ,
f. membenarkan petugas dengan pakaian dinas masuk dan melakukan persembahyangan di pura-pura.

Sebagai wujud isi Piagam Campuan Ubud yang khusus mengenai Dharma Agama diwujudkan dengan:

a. Pendirian Perguruan Tinggi Agama, maka tanggal 3 Oktober 1963 didirikanlah Mahawidya Bhawana Institut Hindu Darma ( IHD ) dan sekarang telah menjadi Universitas Hindu Indonesia ( UNHI ),

b. Disetiap Provinsi dan Kabupaten seluruh wilayah Indonesia berdiri Parisada.

c. Dengan telah terbentuknya Parisadha di seluruh Indonesia, maka untuk menyamakan maksud dan tujuan diadakanlah Mahasabha, seperti:

1. Mahasabha I dilaksanakan tanggal 7 –10 Otober 1964 dihadiri oleh utusan Parisadha seluruh Indonesia. Hasil keputusannya adalah menyempurnakan Lembaga Hindu Parisadha Hindu Dharma Bali menjadi Parisadha Hindu Dharma,

2. Mahasabha II dilaksanakan di Denpasar dari tanggal 2-5 Desember  1968.

3. Pesamuan Agung dilaksanakan di Yogyakarta dari tanggal 21 - 24 Februari 1971. Hasil Pesamuan Agung di Yogyakarta menghasilkan rumusan dibidang Dharma Agama dan Dharma Negara, yaitu berupa pengajuan usul kepada Pemerintah Pusat agar Perayaan Hari Raya Nyepi menjadi libur Nasional.

4. Mahasabha III diselenggarakan tanggal 27 - 29 Desember 1973 bertempat di Denpasar.

5. Mahasabha IV diselenggarakan pada tanggal 24 - 27 Desember 1980 di Denpasar. Hasil keputusannya yakni tentang tempat suci dan kepanditaan.

6. Diakuinya Hari Raya Nyepi sebagai Hari Libur Nasional oleh Pemerintah Pusat  berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 setelah 12 tahun dari pengajuannya ( diajukan tahun 1971) 7. Mahasabha V dilaksanakan dari tanggal 24 - 27 Februari 1986, memutuskan tentang:

a. Ajaran agama

b. Pesantian Hindu atau Widyalaya

c. Perubahan nama dari Parisadha Hindu Dharma Bali menjadi Parisadha Hindu Dharma Indonesia.

8. Mahasabha VI diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 9-14 September 1991. Hasil keputusannya, seperti:

a. Pemilihan tempat kerja Pengurus yaitu pengurus PHDI yang melaksanakan Dharma Negara berkedudukan di Jakarta,

b. Kedudukan tempat kerja pengurus yaitu pengurus PHDI yang melaksanakan Dharma Negara berkedudukan di Bali.

9. Pada Mahasabha VII dan Mahasabha VIII terjadi perubahan struktur kepengurusan PHDI.

Fungsi dan Peran Parisadha

Parisadha memberikan pemahaman ajaran agama Hindu kepada Umat. Parisadha adalah lembaga tertinggi Umat Hindu yang berfungsi:

a. Menata kehidupan beragama Hindu,

b. merumuskan ajaran dan mengembangkan kehidupan beragama Hindu sehingga terus dapat berkembang sejalan dengan perkembangan jaman,

c. memberikan pemahaman ajaran Agama Hindu kepada Umat Hindu melalui ceramah dan Dharma Tula.

Hasil Kerja Parisadha

Dalam perjalanan perkembangan kehidupan beragama Hindu terus mengalami perubahan sesuai perkembangan kehidupan dalam masyarakat. Dalam menghadapi perubahan-perubahan dipandang perlu mengkaji ulang sastra-sastra Hindu yang ada untuk dapat disesuaikan dengan pola kehidupan masyarakat. Pengkajiannya dilakukan dalam bentuk seminar yang diberi nama Seminar Kesatuan Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu. Selain itu hasil kerja Parisadha yang lain adalah diadakannya pesamuan Sulinggih untuk menyamakan kewajiban, persepsi menyangkut Padewasan dan kewajiban serta kewenangan Sulinggih.

Hasil-hasil Pembangunan yang bernuansa agama Hindu setelah Kemerdekaan Indonesia

Untuk mengenal hasil-hasil pembangnunan yang bernuansa Hindu kita akan pilah-pilah menjadi beberapa bidang diantaranya:

A. Bidang Pendidikan : bidang pendidikan formal dan pendidikan non formal.

A.1 Bidang Pendidikan Formal seperti:

1. Tahun 1959 Yayasan Dwijendra Denpasar mendirikan Pendidikan Guru Atas Hindu Bali (PGAH Bali)

2. Tahun 1968 PGAH Bali dinegerikan menjadi  Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH) Negeri Denpasar. Kemudian diikuti dengan pendirian PGAH di: Singaraja, Tabanan, Jembrana, Mataram Lombok, Klaten Jawa Tengah, Blitar Jawa Timur.

3. Tahun 1963 didirikan Perguruan Tinggi Maha Widya Bhawana Institut Hindu Dharma Denpasar ( IHD ) yang sekarang bernama Universitas Hindu Indonesia ( UNHI )

4. Menyusul lagi pendirian Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) di beberapa daerah di Indonesia baik negeri maupun swasta dan juga didirikan IHD di Bangli dan Denpasar.

B.2. Bidang Pendidikan Non Formal seperti:

1. Mengadakan Pangasraman Kilat di sekolah setiap libur akhir tahun ajaran bagi siswa SD, SMP, SMA untuk memberikan pendalaman Agama,

2. Pemerintah Daerah Bali atas Keputusan Gubernur mewajibkan setiap Desa Pakraman mengadakan Pangasraman untuk mendalami ajaran Agama seperti praktek membuat sarana upacara, budi pakerti, Dharmagita, dan Yoga Asana,

3. Bagi Umat Hindu di Bali mengadakan sekolah minggu bertempat di Pura untuk memperdalam ajaran agama Hindu

4. Pemerintah terus menerus mengadakan perbaikan Kurikulum dan memberikan penataran-penataran kepada Guru-guru Agama Hindu

5. Pemerintah melalui Kantor Wilayah Agama Provinsi Bali memberikan penyuluhan kemasyarakat oleh tenaga Penyuluh di masing-masing Kabupaten.

B. Bidang Pembangunan Tempat Suci

Dengan semakin tersebarnya keberadaan umat Hindu di Indonesia, pembangunan tempat suci yang bersifat umum seperti Pura Jagatnatha banyak didirikan di daerah-daerah yang penduduknya masih mempertahankan Agama Hindu. Terutama di luar Bali seperti:

a. Pura Mandara Giri Semeru Agung di Lumajang Jawa Timur,

b. Pura Payogan Agung Kutai di Kalimantan Timur di tempat bekas Kerajaan Hindu Pertama ( Kutai)

c. Pura Jagatkarta atau lebih dikenal dengan nama Pura Gunung Salak di Bogor Jawa Barat,

d. Pura Blambangan di Jawa Timur, Pura Alas Purwa di Banyuwangi,

e. Pura Pancaka di Mataram Lombok Barat.

f. Candi-candi peninggalan Agama Hindu yang dulunya tidak terurus sekarang mendapat perhatian dan dimanfaatkan sebagai tempat persembahyangan, seperti: Candi Ceto, Candi Prambanan, Candi Kidal, Candi Tikus, Candi Panataran, dll.

C. Bidang Kesusastraan

Hasil pembangunan yang bernuansakan Hindu pada bidang Kesusastraan, seperti:

a. Diterbitkannya buku pedoman hidup beragama dengan judul Dharma Prawerti Sastra dan Upadesa,

b. Selanjutnya banyak generasi muda Hindu mulai menulis buku-buku yang bernafaskan ajaran agama Hindu baik yang bersifat umum maupun ilmiah.

c. Munculnya penerbit-penerbit yang menerbitkan hasil karya tulisan agama Hindu seperti: Penerbit Dharma Bakti di Denpasar, Penerbit Upada Sastra di Denpasar, Penerbit Pustaka Manik Geni di Denpasar, Penerbit Paramita di Surabaya,

d. Mulai banyak dialihaksarakan naskah-naskah lontar yang mengandung ajaran agama Hindu sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh Umat Hindu,

e. Diterjemahkannya kitab-kitab Parwa seperti Adi Parwa, Sabha Parwa  ( Asta Dasa Parwa), Kekawin, Kidung  untuk memudahkan generasi berikutnya mempelajari atau mempedomani ajarannya yang bersumber dari Itihasa, Tantri, dll

f. Mulai diterbitkannya Majalah, Tabloid maupun karya tulis lainnya yang bertujuan memberikan pemahaman kepada umat Hindu.

D. Hasil Bidang Seni Budaya

Mengenai seni budaya yang mendukung kegiatan keagamaan seperti seni lukis, seni tabuh, seni pahat, dan seni suara sangatlah mengairahkan generasi muda kita untuk mempelajarinya. Dibidang seni suara dikenal istilah Dharmagita. Secara rutin umat Hindu mempelajari Dharmagita untuk menyiapkan diri mengikuti perlombaan yang diadakan setiap tahun yang disebut Utsawa Dharma Gita.

Dalam Utsawa Dharmagita yang dilombakan, seperti:

  • a. Pembacaan Sloka,
  • b. Pembacaan Kekawin,
  • c. Kidung,
  • d. Macepat/Sekar Alit,
  • e. Palawakya.

E. Hasil pada bidang Organisasi

Di bidang Organisasi, banyak kita lihat organisasi yang bernuansakan Hindu, seperti:

  • a. Forum Pemuda Hindu,
  • b. Prajaniti,
  • c. Hindu Center
  • d. Forum Cendikian Hindu Indonesia,
  • e. Himpunan Mahasiswa Hindu,
  • f. Peradah,
  • g. Yayasan-yayasan Hindu yang mendukung keberadaan Agama Hindu di Indonesia.

Nitya Karma Dan Naimitika Karma

Yadnya berasal dari Bahasa Sanskerta dari urat kata ”Yaj “ yang artinya memuja, mempersembahkan atau memberi pengorabanan. Sehingga Yadnya berarti korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamerih.

Sumber sastra Hindu yang menyebutkan tentang Yadnya adalah Kitab Bhagavadgita Bab II Sloka 10, yang berbunyi sebagai berikut:

Saha-yajnah prajah srstva purovaca prajapatih
Anena prasavisyadhvam esa vo ‘stv ista-kama-dhuk.

Artinya:

Pada masa yang lalu, Prajapati. Dewa dari para makhluk-makhluk menciptakan manusia dengan suatu etikad yang penuh dengan pengorbanan dan berkatalah Dewa ini “ Dengan pengorbanan ini engkau akan sejahtera, Dan pengorbanan ini adalah ibarat Kamadhuk (sapi kemakmuran) yang beranak-pinak yang akan menghasilkan kemauan-kemauanmu.

Dalam beryadnya diperlukan minimal tiga unsur yang disebut Tri Manggalaning Yadnya, yang terdiri dari:

a. Orang yang memimpin Upacara Yadnya seperti; Sulinggih, Pendeta, Pemangku, Sang Wiku.
b. Orang yang membuat sesajen  (tukang banten/Tapini),
c. Orang yang melaksanakan Yadnya disebut Sang Yajamana

Tujuan Yadnya adalah:

a. Untuk menghubungkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa,
b. Untuk mencapai kesucian, membebaskan diri dari segala dosa dan mencapai kesempurnaan hidup lahir batin,
c. Sebagai tanda terima kasih atas segala anugrah yang telah dilimpahkan oleh Tuhan.

Berdasarkan tujuan pelaksanaan Yadnya dapat dibedakan menjadi lima jenis yang disebut Panca Yadnya, meliputi:

  1. Dewa Yadnya,
  2. Pitra Yadnya,
  3. Rsi yadnya,
  4. Manusa Yadnya,
  5. Bhuta Yadnya.

Berdasarkan atas waktu untuk beryadnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu yadnya dilakukan setiap hari disebut Nitya Karma dan yadnya yang dilakukan pada hari-hari tertentu yang disebut Naimitika Karma.

Pengertian Nitya Karma dan Naimitika Karma

Kata Nitya Karma dan Naimitika Karma berasal dari Bahasa Sanskerta. Nitya Karma terdiri dari dua kata yaitu kata Nitya dan kata Karma,  kata Nitya adalah tergolong adjective yang berarti; batin, tetap, abadi, kekal sedangkan kata Karma tergolong neuter yang artinya perbuatan, pekerjaan. Sehingga Nitya Karma berarti pelaksanaan yadnya yang dilakukan setiap hari.

Kata Naimitika Karma terdiri dari dua kata yaitu kata Naimitika dan Karma.  Naimitika artinya; waktu tertentu atau berkala atau periodik, sedangkan kata Karma berarti perbuatan, pekerjaan. Jadi Naimitika Karma berarti pelaksanaan yadnya yang dilakukan pada waktu tertentu atau secara berkala/periodik.

Contoh Pelaksanaan Yadnya secara Nitya Karma dan Naimitika Karma

Contoh Pelaksanaan Yadnya secara Nitya Karma:

Di bidang Dewa Yadnya seperti:

Melaksanakan Yadnya Sesa,  yaitu melaksanakan yadnya setiap selesai memasak nasi. Yadnya sesa atau ngejot ini ditujukan kepada; Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya dipersembahkan pada pelinggih, di atas tempat tidur. Kepada Sang Hyang Brahma karena telah membantu memasak, dipersembahkan di tungku/jalikan/kompor. Ditujukan kepada Sang Hyang Pertiwi dan Bhuta-bhuti dan Penunggun Karang dipersembahkan di halaman sanggah, halaman rumah dan pintu keluar pekarangan dan tempat-tempat lain.

Melaksanakan Tri Sandya setiap hari, baik di Sekolah maupun di    Rumah,

Di bidang Resi Yadnya, seperti:

  • Mengormati guru di sekolah
  • Mentaati tata tertib sekolah,
  • Tekun belajar
  • Tidak lalai terhadap tugas yang diberikan oleh guru

Pitra Yadnya, misalnya:

  • Menghormati orangtua
  • Rukun dengan saudara

Manusa Yadnya, seperti:

  • Memelihara dan merawat badan dengan baik,
  • Mengasihi sesama,
  • Menolong orang kesusahan

Bhuta Yadnya, misalnya:

  • Mememlihara dan menyayangi hewan peliharaan
  • Merawat dan menjaga kelestarian tanaman
  • Menjaga kebersihan lingkungan.

Contoh Pelaksanaan Yadnya secara Naimitika Karma,

Dewa Yadnya yang dapat dilakukan secara Naimitika Karma:

  • Purnama dan Tilem yang dirayakan setiap satu bulan sekali,
  • Budha Kliwon, Tumpek, Buda Wage, Anggara Kasih dilaksanakan setiap 35 hari sekali,
  • Hari besar Umat Hindu seperti; Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan dilaksanakan setiap enam bulan sekali,
  • Hari Raya Siwaratri, Hari Raya Nyepi dilaksanakan setiap satu tahun sekali,
  • Kajeng Kliwon dilaksanakan setiap 15 hari sekali,
  • Piodalan di pura/sanggah/merajan dapat dilaksanakan setiap enam bulan atau satu tahun sekali.

Pitra Yadnya yang dapat dilakukan secara Naimitika Karma, seperti:

  • Upacara Ngaben,
  • Upacara Ngeroras,
  • Upacara Ngelungah

Resi Yadnya yang dapat dilakukan secara Naimitika Karma, seperti:

  • Pada saat sulinggih, wiku atau pinandita selesai muput upacara yadnya kita wajib menghaturkan punia kepada beliau
  • Menghaturkan punia pada saat perayaan Siwaratri.

Manusa Yadnya yang dapat dilakukan secara Naimitika Karma, meliputi:

  • otonan,
  • upacara tutug kambuhan,
  • potong gigi/metatah/mepandes,
  • pawiwahan,
  • magedong-gedongan

Bhuta Yadnya yang dapat dilakukan secara Naimitika Karma, seperti:

  • melaksanakan upacara Tawur Agung setiap hari Pengrupukan atau sehari sebelum hari Raya Nyepi,
  • melaksanakan Upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali di Pura Agung Besakih,
  • melaksanakan Upacara Eka Dasa Rudra setiap 100 tahun  sekali di Pura Agung Besakih,
  • melaksanakan upacara Rsighana, dll

Penerapan Pelaksanaan Yadnya Secara Nitya Karma dan Naimitika Karma

1. Lakukan Tri Sandya 3 kali sehari,
2. Lakukan sembahyang di rumah sebelum berangkat ke sekolah,
3. Lakukan persembahyangan di Padmasana sekolah dengan tertib dan hikmat,
4. Bantulah ibu membuat dan menghaturkan banten saiban setiap hari,
5. Rajinlah membersihkan tempat suci; sanggah, padmasana, paibon,
6. Jagalah kerukunan dengan saudara,
7. Hormatilah orangtua dan turuti nasehatnya
8. Hormati gurumu, laksanakan apa yang diajarkan dan yang diperintahkan,
9. Peliharalah hewan peliharaanmu yang ada di rumah dengan baik,
10. Rajinlah membantu orangtua mejejahitan, metanding, membuat penjor,
11. Lakukanlah persembahyangan pada hari-hari suci baik di sekolah maupun di rumah,
12. Rawatlah orangtua, nenek, kakek bila beliau sakit atau memerlukan pertolongan.

Dasa Yama Brata Dan Dasa Nyama Brata

Arti Dasa Yama dan Dasa Nyama Brata

Ajaran Dasa Yama dan Dasa Nyama adalah ajaran susila Hindu yang dapat menuntun umatnya untuk berbuat susila agar menjadi orang yang memiliki budi pakerti luhur. Ajaran Susila sangat erat kaitannya dengan ajaran lain dalam agama Hindu yakni; ajaran Tattwa dan Upakara. Ajaran Tattwa, Susila dan Upakara dalam agam Hindu disebut Tri Kerangka Agama Hindu. Ketiga ajaran ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga ajaran ini diibaratkan sebagai sebutir telur. Kulit telur adalah Upacara Hindu, Putih telur adalah ajaran Susila Hindu, sedangkan Kuning Telur/sarinya adalah ajaran Tattwa. Demikian juga ketiga ajaran ini diibaratkan seperti tubuh manusia. Tattwa adalah kepala manusia, Susila adalah badan manusia dan Upacara adalah kaki manusia.

Pengertian Dasa Yama Brata

Kata ”Dasa Yama Brata” berasal dari Bahasa Sanskerta yang terdiri dari tiga kata yaitu: Dasa, Yama dan Brata.

Dasa berarti sepuluh,

Yama berarti Pengendalian,

Brata sama artinya dengan Wrata berarti keinginan atau kemauan.

Jadi arti dari Dasa Yama Brata adalah sepuluh pengendalian keinginan untuk mendapatkan kesempurnaan hidup.

Pengertian Dasa Nyama Brata

Dasa Nyama Brata juga berasal dari Bahasa Sanskerta, yang terdiri dari tiga kata, yaitu:

Dasa berarti sepuluh,

Nyama berarti pengendalian dalam tahap mental,

Brata/Wrata berarti keinginan atau kemauan.

Jadi Dasa Nyama Brata berarti sepuluh macam pengendalian keinginan dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Bagian-bagian Dasa Yama Brata dan artinya

1. Anresangsya  artinya tidak mementingkan diri sendiri,
2. Ksama artinya suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan,
3. Satya berarti setia dengan ucapan sehingga menyenangkan hidup,
4. Ahimsa berarti tidak membunuh dan tidak menyakiti atau menyiksa,
5. Dama artinya dapat menasehati diri sendiri,
6. Arjawa  artinya jujur mempertahankan kebenaran,
7. Priti artinya cinta kasih saying terhadap sesama makhluk,
8. Prasada berarti berpikir dan berhati suci tanpa pamerih,
9. Madurya artinya ramah tamah, lemah lembut, sopan santun,
10. Madarwa artinya rendah hati.

Bagian-bagian Dasa Nyama Brata dan artinya

1. Dana berarti pemberian sedekah,
2. Ijya artinya pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi da leluhur,
3. Tapa artinya menggembleng diri,
4. Dhyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi,
5. Swadyaya berarti mempelajari dan memahami ajaran-ajaran suci,
6. Upasthanigraha adalah mengendalikan hawa nafsu kelamin,
7. Brata adalah taat akan sumpah,
8. Upawasa adalah berpuasa,
9. Mona berarti membatasi perkataan,
10. Snana artinya melakukan penyucian diri sendiri setiap hari dengan jalan membersihkan badan dan bersembahyang.

Contoh-contoh Pelaksanaan Dasa Yama Brata

Tujuannya agar kita dapat mengikutinya untuk meningkatkan kesempurnaan hidup.

1. Anresangsya : artinya tidak mementingkan diri sendiri. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Anresangsya:

  • Membatalkan janji pribadi untuk melaksanakan kepentingan warga masyarakat,
  • Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi,
  • Memberi kesempatan kepada penyebrang jalan dengan memperlambat kecepatan sepeda motor/mobil,
  • Memberikan tempat duduk kita di dalam bus/angkutan kepada orang tua atau orang hamil,
  • Membiasakan antre atau menunggu giliran di SPBU, Puskesmas, rumah sakit atau kantor.

2. Ksama : artinya suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan.

 Contoh-contoh pelaksanaa ajaran Ksama, seperti:

  • Memaafkan kesalahan teman,
  • Tidak marah atau tersinggung bila dijelek-jelekkan teman,
  • Tetap melanjutkan sekolah walaupun tidak naik kelas,
  • Tidak merasa minder/berkecil hati walaupun merasa diri ada kekurangan,dll.

3. Satya : berarti setia dengan ucapan sehingga menyenangkan hidup. Satya berarti juga kejujuran atau kebenaran. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Satya, seperti:

  • Mengatakan dengan sebenarnya apa yang dilihat, di dengar.
  • Bertanggung jawab terhadap yang telah diperbuat,
  • Menepati janji,
  • Jujur terhadap kata hati,
  • Melaksanakan Panca Satya

Panca Satya

1. Satya Wacana : setia terhadap ucapan,
2. Satya Laksana : setia terhadap perbuatan,
3. Satya Mitra setia terhadap teman, berteman dalam keadaan senang maupun susah,
4. Satya Semaya : selalu menepati janji yang diucapkan, dan
5. Satya Hredaya : jujur terhadap kata hati

4. Ahimsa  : artinya tidak membunuh, tidak menyiksa atau menyakiti makhluk. Contoh pelaksanaan ajaran Ahimsa, seperti:

  • Tidak membunuh binatang sembarangan,
  • Tidak meracuni hewan,
  • Tidak mengganggu hewan yang sedang tidur,
  • Tidak memfitnah,
  • Tidak menghina teman yang memiliki kekurangan.

Agama Hindu juga membenarkan melakukan pembunuhan/Himsa Karma tetapi hendaknya dilandasi cinta kasih dan dharma, seperti:

  1. Untuk Dewa Puja yaitu untuk persembahan kepada para Dewa dan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi,
  2. Pitra Puja yaitu membunuh untuk persembahan kepada leluhur,
  3. Athiti Puja yaitu membunuh untuk dipersembahkan atau dihaturkan kepada tamu.
  4. Dharma Wigata yaitu membunuh di dalam peperangan/pertempuran.

5. Dama : artinya sabar dan dapat menasehati diri sendiri. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Dama, seperti:

  • Menyadari perbuatan, perkataan dan perbuatan kita yang keliru,
  • Memikirkan terlebih dahulu akan perkataan yang akan diucapkan,
  • Sebelum tidur renungkanlah perbuatan yang telah kita lakukan sebagai evaluasi harian untuk meningkatkan kwalitas diri,
  • Biasakan tidak terlalu repot membicarakan kelemahan orang, masih lebih baik jika rajin melihat kelemahan diri sendiri,
  • Untuk menghindari adanya penyesalan yang datangnya selalu di belakang, sebelum berkata dan berbuat pikirkan secara matang akibatnya.

Orang yang penyabar tidak mudah tersinggung, orang sabar disayang Tuhan. Orang sabar dapat menasehati dirinya sendiri.

6. Arjawa : artinya jujur mempertahankan kebenaran bersifat terbuka dan berterus terang. Sifat terbuka dan berterus terang menghindarkan kita dari kesalahpahaman. Kesalahpahaman dapat menimbulkan masalah. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Arjawa, seperti:

  • Jangan mengaku dan merasa diri selalu paling benar,
  • Katakan yang benar adalah benar yang salah adalah salah,
  • Berpijaklah pada kebenaran walaupun banyak godaan,
  • Orang yang mempertahankan kebenaran akhirnya akan menang.
  • Jadilah ksatria pembela kebenaran seperti peribahasa  Berani karena benar Takut karena Salah.

7. Priti  : artinya cinta kasih sayang terhadap sesama Makhluk .Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Priti, seperti:

  • Hiduplah rukun saling mengasihi sesama teman di sekolah, bersama keluarga, begitu juga dengan tetangga sekitar,
  • Memelihara hewan peliharaan dengan baik,
  • Rajin merawat dan memupuk tanaman, dll

8.Prasada : artinya bertpikir dan berhati suci tanpa pamerih. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Prasada,  misalnya:

  • Jujur dan tulus pada setiap tindakan untuk memupuk dan menumbuhkan kesucian hati,
  • Berpikir jernih, cermat dan masuk akal jangan mengembangkan pikiran buruk atau berburuk sangka  (negatif thinking)  kepada orang lain,
  • Rajin sembahyang,
  • Jujur dan setia terhadap setiap tindakan,
  • Berbuat yang iklas tanpa pamerih,
  • Jagalah pikiran kita agar tetap jernih dan suci. Hindarikan pikiran dari hal-kal kotor dan bodoh, karena pikiran yang diliputi oleh niat yang kotor dan bodoh menyebabkan manusia lebih rendah dari binatang, dll

9. Madurya : artinya ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Madurya, seperti:

  • Bersikap ramah tamah terhadap semua orang, menghindari sikap judes dan cuek,
  • Bersikap lemah lembut terhadap semua orang, menghindari sikap kasar, emosional dan mudah tersinggung,
  • Bersikap sopan santun terhadap siapa saja dan di manapun berada,
  • Selalu menjaga sikap santun ketika berhadapan dengan orang lain baik dengan teman sejawat, orang yang lebih tua, guru ataupun siapa saja,
  • Selalu berbicara yang sopan kepada lawan bicara,
  • Menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai terhadap orang lain,
  • Tidak memperlihatkan wajah masam, cemberut dan kusam,

10. Mardawa : artinya rendah hati tidak sombong. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Mardawa, misalnya:

  • Selalu ringan tangan suka membantu orang yang membutuhkan pertolongan,
  • Menghargai orang lain,
  • Menghormati orang lain,
  • Tidak mementingkan diri sendiri,
  • Peduli terhadap orang lain,
  • Bersikap empati terhadap penderitaan orang lain sehingga memiliki keinginan untuk memberi pertolongan,
  • Menyadari diri memiliki kelebihan dan kekurangan,
  • Menghindarkan diri dari perbuatan merendahkan harga diri orang lain,
  • Selalu bersikap sabar dan tidak membalas dendam,
  • Dapat menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.

Contoh-contoh Pelaksanaan Dasa Nyama Brata

1.Dana : artinya berderma dan beramal tanpa pamerih. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Dana, seperti:

  • Membiasakan berderma kepada orang yang sedang menderita mengalami kesusahan dalam hidupnya,
  • Kekayaan berupa harta benda bersifat tidak kekal dan tidak dibawa mati, maka sisihkanlah sebagian harta kita untuk berderma/beramal,
  • Berikanlah sedekah kepada orang yang membutuhkan,
  • Lakukan sedekah pada waktu yang tepat, misalnya pada waktu orang kesusahan, pada waktu orang tertimpa bencana,
  • Berikanlah sedekah kepada orang miskin atau orang sakit,
  • Berikanlah sedekah kepada pengemis dengan ikhlas. Janganlah marah kepada pengemis, jangan mengusirnya dan janganlah mencela.

Pemberian sedekah atau dana menurut waktu pemberiannya ada 4 tingkatan  menurut  Slokantara 17, sebagai berikut:

  • Dana yang diberikan di bulan Purnama dan bulan Mati (Tilem) menyebabkan 10 kali kebaikan yang diterima,
  • Dana yang diberikan pada bulan Gerhana membawa phahala (100) seratus kali,
  • Dana yang diberikan pada hari suci Sraddha menjadi 1000 kali lipat,
  • Sedekah/Dana yang diberikan diakhir Yuga phahala kebaikannya akan tidak terbatas.

Pemberian sedekah atau dana menurut Tingkatannya ada 4 menurut Slokantara 21, sebagai berikut:

  • Pemberian berupa makanan itu mutunya kecil, disebut Kanista Dana
  • Pemebrian berupa Uang/pakaian  mutunya menengah, disebut Madyama Dana
  • Pemberian berupa gadis itulah yang dianggap tinggi, disebut Utama Dana
  • Pemberian sedekah/dana berupa Ilmu Pengetahuan itu mengatasi semuanya dan membawakan kebajikan besar, disebut Ananta Dana.

2. Ijya : artinya pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Ijya, seperti:

  • Rajin melakukan Tri Sandya setiap hari ( pagi, siang, sore )
  • Rajin berdoa setiap saat,
  • Rajin melakukan persembahyangan pada hari raya,
  • Rajin melakukan meditasi dan berjapa, dll

3. Tapa : artinya menggembleng diri untuk menimbulkan daya tahan. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Tapa, seperti:

  • Berlatih diri mengendalikan pikiran seperti berusaha untuk berpikir jernih, berpikir yang baik agar tahan uji terhadap masalah yang mengganggu pikiran,
  • Berlatih mengendalikan keinginan, misalnya memenuhi keinginan sesuai kebutuhan, memenuhi keinginan sesuai kemampuan, menghindari keinginan yang menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri maupun orang lain agar tahan uji terhadap pengaruh buruk keinginan itu,
  • Berlatih hidup sederhana agar tahan uji terhadap penderitaan,
  • Berlatih mengendalikan perkataan agar tahan uji untuk tidak berkata yang menyakitkan misalnya berkata kasar, mengancam, menghardik, dan mengeluarkan kata-kata ejekan dan hinaan,

Berlatih mengendalikan perbuatan, misalnya tidak melakukan perbuatan curang, mencuri, suka berkelahi, suka memancing keributan, suka berbuat onar, dll.

4. Dhyana : artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Dhyana, seperti:

  • Saat belajar di kelas perlu memusatkan pikiran tentang pelajaran yang sedang diajarkan,
  • Memusatkan pikiran pada saat mengendarai sepeda  motor/mobil,
  • Berlatih melakukan pemusatan pikiran dengan melakukan Pranayama,
  • Berlatih melakukan pemusatan pikiran dengan sembahyang,
  • Berlatih melakukan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan meakukan yoga, tapa dan semadi, dll

5. Swadhyaya : artinya tekun mempelajari dan memahami ajaran suci. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Swadhyaya, seperti:

  • Tekun belajar jangan cepat putus asa,
  • Berusaha belajar secara mandiri artinya belajar tanpa diperintah dan belajar menemukan jawaban sendiri,
  • Jangan malu bertanya kepada orang lain tentang suatu masalah yang tidak dimengerti atau tidak diketahui,
  • Rajin membaca buku kerohanian dan buku-buku lain yang berguna dalam kehidupan,
  • Mengamalkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, dll

6. Upasthanigraha : artinya mengendalikan hawa nafsu kelamin. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Upasthanigraha, misalnya:

  • Menghindari berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi,
  • Menghindari berpakaian yang ketat atau seksi bahkan berpakaian yang merangsang,
  • Mengindarkan diri dari pikiran kosong agar tidak berpeluang menghayal terhadap hal-hal yang porno,
  • Tidak menonton tayangan televisi yang menyiarkan film-film Dewasa,
  • Tidak membuka HP yang berisi film-film porno,
  • Hindari membaca komik atau menonton VCD Porno,
  • Sibukkanlah diri dengan kegiatan-kegiatan positif, seperti olahraga, kursus, ekstra kulikuler, belajar menari, Pramuka, megambel
  • Menghindari berprilaku genit terhadap lawan jenis, dll

7. Brata : artinya taat akan sumpah. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Brata, seperti:

  • Berjanjilah dari lubuk hati yang paling dalam,
  • Taatilah apa yang menjadi janjimu, seperti; saya ingin menjadi orang yang berguna, saya ingin menjadi orang yang berbakti kepada orang tua, saya ingin menjadi orang yang berguna dalam keluarga,
  • Janji dalam hati bukan untuk diingkari tetapi untuk ditaati, dll

8. Upawasa : artinya berpuasa mengekang nafsu terhadap makanan dan minuman. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Upawasa, misalnya:

  • Hindari memakan makanan yang berlebihan karena nafsu belaka,
  • Hindarkan diri untuk memakan makanan yang sudah basi atau kedaluwasa,
  • Hindari makan makanan yang kotor,
  • Hindari memakan makanan yang tidak jelas asal usulnya,
  • Aturlah jadwal makan, misalnya makan teratur yaitu sarapan pagi, makan siang dan makan sore secara teratus,
  • Mengendalikan nafsu makan, misalnya makanlah secukupnya sesuai kebutuhan tubuh, jangan makan yang berlebihan,
  • Menghindari sikap rakus,
  • Mencoba untuk berpuasa pada hari  Raya Nyepi, Siwaratri atau pada hari Raya Hindu sesuai kemampuan, dll

9. Mona : artinya membatasi perkataan. Mona juga berarti pantang atau tidak berkata-kata dalam kurun waktu tertentu atau membatasi perkataan. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Mona, seperti:

  • Hindari berkata kasar,
  • Hindari perkataan mencaci maki,
  • Hindari perkataan bohong,
  • Hindari mengeluarkan tata-kata hinaan maupun ejekan,
  • Jangan mengeluarkan perkataan mengancam,
  • Hindarkan diri untuk tidak berkata yang kotor dan jorok,
  • Belajar melakukan mona brata pada hari Raya Nyepi sesuai kemampuan, dll

10. Snana : artinya tekun melakukan penyucian diri dengan jalan mandi atau sembahyang. Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Snana, misalnya:

  • Rajin mandi 2 kali sehari yaitu pagi hari sebelum sekolah dan sore hari,
  • Rajin merawat badan, misalnya: memotong rambut yang panjang, memotong kuku, menyikat gigi, mencuci pakaian sendiri, mandi dengan menggunakan air bersih dan memakai sabun,
  • Rajin sembahyang baik di sekolah dengan Tri Sandya dan di rumah di sore hari melaksanakan Tri Sandya dan Kramaning Sembah,
  • Rajin melakukan Pranayama untuk menyucikan pikiran,
  • Jujur dalam hidup, dll


Sumber Buku Semara Ratih Kls.VI dan sumber lainnya

Komentar